Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Lembaga Keuanga Mikro (LKM) dan LKM Syariah (LKM/LKMS) se-Indonesia (Aslindo) menjabarkan ada persoalan pelik literasi keuangan di level desa yang menjadi penyebab non-performing loan (NPL) atau kredit macet lembaga keuangan mikro (LKM) sulit ditekan.
Burhan, Ketua Umum Aslindo mengatakan masyarakat di pedesaan awal mulanya taat terhadap kewajiban pembayaran kredit atau pinjaman yang mereka dapatkan. Namun, sejak gencarnya program kredit bunga murah dari pemerintah, mereka seakan menyepelekan kewajiban.
"Munculnya program pemerintah tentang adanya kredit-kredit di desa dengan bunga murah dan [program] bubar karena tidak tertagih. Setiap ganti pemimpin akan muncul baru lagi program-program tersebut dan bisa dikatakan tidak ada yang bertahan sampai sekarang. Banyak yang tidak tertagih, sehingga masyarakat semakin pintar dan berpengalaman akan utang, dan itu berpengaruh terhadap moral masyarakat saat ini," kata Burhan kepada Bisnis, dikutip Sabtu (10/5/2025).
Berdasarkan catatan Bisnis, rasio NPL LKM dalam 5 tahun terakhir selalu di atas batas ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebesar 10%. Rasio NPL untuk LKM konvensional dari 2019 hingga 2023 berturut-turut adalah sebesar 19,50%, 17,26%, 18,47%, 19,25%, dan memburuk menjadi 25,27% pada 2023. Punya tren yang sama, rasio NPL LKM syariah dari 2019 hingga 2023 berturut-turut adalah sebesar 12,80%, 26,38%, 22,67%, 14,51%, dan memburuk menjadi 25,88% pada 2023.
Sementara hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 menunjukkan ada ketimpangan antara masyarakat di desa dan perkotaan. Indeks literasi masyarakat pedesaan tercatat di level 59,60%, sedangkan di perkotaan sebesar 70,89%.
Jika mengacu kategori sektor lembaga jasa keuangan, literasi LKM pada 2025 sebesar 9,80% dan menjadi indeks paling kecil di antara semua sektor keuangan lainnya. Sebagai pembanding, indeks literasi perbankan sudah mencapai 65,50%, sementara fintech P2P lending atau pinjaman online ada di level 24,90%.
Baca Juga
Rendahnya indeks literasi LKM tersebut juga menjadi penyebab bagaimana masyarakat salah dalam menyikapi informasi yang mereka dapat.
"Adanya informasi di media tentang pemutihan utang dan lain-lain, hal tersebut berdampak terhadap ketaatan masyarakat di desa. Dikiranya bansos, sehingga akan berdampak juga NPL yang cenderung naik, di samping juga karena banyak nasabah besar kita yang macet sampai dieksekusi," tandasnya.
Burhan menambahkan, kredit macet LKM justru disebabkan utamanya oleh pinjaman-pinjaman besar dengan nilai lebih dari Rp50 juta.
"Kalau kredit macet ini dikaitkan dengan literasi saja juga tidak bisa. Literasinya oke, tapi orangnya semakin menambah [besaran utang]. Jadi pembiayaan yang didorong itu kan yang kecil-kecil, di bawah Rp10 juta. Nasabah kita itu yang Rp200.000 sampai Rp300.000 itu ada. Itu yang kita dorong," pungkasnya.