Bisnis.com, JAKARTA — Industri asuransi menaikkan porsi investasinya di instrumen SRBI cukup signifikan dalam setahun terakhir, meskipun mulai terjadi pengurangan pada kuartal II/2025. Imbal hasil kompetitif menjadi magnet, terutama bagi asuransi umum.
Berdasarkan statistik asuransi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dengan data teranyar per Mei 2025, asuransi swasta mengoleksi SRBI hingga Rp4,8 triliun. Jumlahnya naik signifikan dibandingkan Mei 2024 yang hanya Rp625 miliar.
Industri asuransi umum tercatat sebagai pemegang terbanyak SRBI di sektor asuransi swasta per Mei 2025, yakni mencapai Rp2,6 triliun. Industri asuransi jiwa tercatat menggenggam SRBI Rp2,11 triliun, sedangkan reasuransi hanya Rp90,2 miliar.
Pada 2024 sebenarnya industri asuransi jiwa mengoleksi SRBI lebih banyak, tetapi posisinya mulai berubah pada akhir tahun, ketika industri asuransi umum belanja instrumen itu lebih banyak. Sebaliknya, sejak November 2024 industri asuransi jiwa mulai mengurangi penempatan investasi di SRBI.
Kepemilikan SRBI tertinggi oleh industri asuransi umum terjadi pada Maret 2025, yang mencapai Rp2,91 triliun. Sedangkan di industri asuransi jiwa titik tertingginya terjadi tahun lalu, pada Oktober 2025 yang mencapai Rp2,52 triliun.
Industri reasuransi tidak begitu banyak mengoleksi instrumen investasi keluaran Bank Indonesia tersebut. Penempatannya masih dominan di Surat Berharga Negara (SBN) Republik Indonesia, yang mencakup 44,2% dari total aset investasi industri per Mei 2025.
Baca Juga
Head of Fixed Income Research PT Mandiri Sekuritas Handy Yunianto menilai bahwa tren penurunan investasi di SRBI kemungkinan tidak hanya terjadi di industri asuransi, karena Bank Indonesia memang mengurangi outstanding SRBI sembari menurunkan suku bunga instrumen tersebut.
"Untuk asuransi yang punya liabilitas panjang, dengan SRBI rate yang terus turun lebih rendah dari yield SBN, akan mendorong asuransi untuk memilih investasi yang sesuai dengan liabilitasnya," ujar Handy kepada Bisnis, dikutip pada Kamis (21/8/2025).
Hal itu tercermin dari data terbaru Bank Indonesia, bahwa sejak Januari 2025 hingga 15 Agustus 2025, bank sentral melakukan penurunan volume lelang dan posisi SRBI. Pada awal tahun totalnya masih Rp916,97 triliun, sedangkan pada pertengahan bulan ini sudah menjadi Rp720,01 triliun.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyebut bahwa hal itu merupakan strategi bank sentral, sebagai bagian dari operasi moneter pro pasar untuk meningkatkan likuiditas. BI juga memperluas likuiditas di instrumen dengan tenor yang lebih pendek.
Handy menilai bahwa SRBI tetap bisa menjadi instrumen investasi yang menarik, termasuk bagi industri asuransi. Namun, hal itu bergantung kepada profil risiko industri.
"Umumnya jika suku bunga tren turun, kecenderungannya investor akan lebih memilih instrumen tenor panjang. Mungkin nanti kalau tren suku bunga berbalik naik lagi, tenor pendek [SRBI] akan menjadi pilihan menarik lagi," ujarnya.
Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Ramdhan Ario Maruto menuturkan bahwa SRBI memiliki daya tarik tersendiri sebagai instrumen yang baru muncul 2 tahun belakangan.
Saat awal kemunculannya, SRBI memberikan yield yang amat menarik bahkan lebih tinggi dari SBN. Setelah itu, kupon pun disesuaikan.
"Asuransi memanfaatkan kesempatan mendapat instrumen yang dapat hasil optimal, karena dua tahun terakhir instrumen baru, jadi pemanis bagi bank dan asuransi, peningkatan investasi di SRBI karena faktor instrumen baru yang diperkenalkan ke pasar," tuturnya kepada Bisnis, dikutip pada Kamis (21/8/2025).
Menurutnya, SRBI memiliki posisi yang setara dengan SBN, penerbitnya sama-sama memiliki kredibilitas dan minim risiko. Pembedanya, hanya di jangka waktu, SRBI jangka pendek di bawah 1 tahun, sedangkan SBN bertenor di atas itu.
Kolektor SRBI Terbesar Bukan Asuransi Swasta, tapi BPJS
Berdasarkan data OJK per Mei 2025, total investasi industri asuransi di SRBI menjadi Rp44,86 triliun melonjak 21 kali lipat ketimbang periode tahun sebelumnya.
Bila dibedah, kepemilikan asuransi sosial, yang termasuk BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan di dalamnya, mencatatkan nilai nominal paling banyak sebesar Rp40,05 triliun, naik 27 kali lipat.
Dalam catatan OJK, asuransi sosial mulai mengoleksi SRBI pada Mei 2025, totalnya baru Rp1,4 triliun. Nilainya langsung melonjak pada Juni 2025 menjadi Rp18,09 triliun, hingga pada akhir 2024 sudah mencapai Rp40,89 triliun.
Penempatan investasi asuransi sosial di SRBI terus naik dan mencapai level tertinggi pada April 2025, yakni Rp41,8 triliun. Namun, pada Mei 2025 jumlahnya berkurang.
Plt Head of Indonesia Financial Group Progress Ibrahim Kholilul Rohman. Dia menilai saat ini investasi yang dilakukan perusahaan asuransi cenderung stagnan atau tidak berkembang secara signifikan.
"Paling mentok-mentok masuknya ke SBN, SRBI, atau mungkin fixed income yang lain. Namun, celah untuk mendapatkan return yang tinggi itu memang agak terbatas di Indonesia," ujarnya.
Dia berkaca dari banyaknya perusahaan asuransi yang gagal dalam mengelola investasi. Akibatnya perusahaan berpotensi besar collapse bahkan bangkrut. Tak hanya itu, dampak juga dirasakan oleh nasabah yang sulit mendapatkan hak proteksi.
"Makanya memang sekarang sebenarnya yang harus ditekankan adalah bagaimana proses underwriting ini berjalan dengan baik sehingga tidak harus bertopang kepada hasil investasi," ujar Ibrahim.
Dia mengatakan proses underwriting yang tepat mampu menjaga cadangan, investasi, atau aset perusahaan secara maksimal sehingga menekan kegagalan tata kelola dan manajemen.
Berdasarkan data yang dihimpun lembaga riset IFG Progress, industri asuransi adalah salah satu investor yang cukup besar di pasar keuangan. Setidaknya 78% aset asuransi diinvestasikan di pasar modal. Lalu 19% kepemilikan SBN adalah industri asuransi dan dana pensiun.
Pada 2024, total investasi sektor asuransi di pasar modal mencapai lebih dari Rp1,5 triliun dengan alokasi 63% obligasi, 12% pada saham, 11% deposito, 7% reksadana, dan sisanya pada instrumen investasi lainnya. (Annisa Nurul Amara)