Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia mendesak penegasan kebijakan Kementerian Keuangan terkait terbitnya Surat Edaran Dirjen Pajak No.56/PJ/2015 untuk kepentingan pemegang polis dan kelangsungan bisnis yang lebih kondusif.
Togar Pasaribu, Pjs. Direktur Eksekutif AAJI mengatakan pembebasan penerimaan manfaat asuransi jiwa dari pengenaan pajak penghasilan (PPh) yang sebelumnya dikenakan 15% dapat menimbulkan misinterpretasi bagi perusahaan dan kebingungan pada pemegang polis.
“Kami ingin ada kejelasan dari SE itu bahwa berlaku itu kedepan atau tidak? Dan ditegaskan mengenai status pemegang polis yang menjual dibawah 3 tahun dan sudah terjadi,” katanya, Rabu (21/10/2015).
Seperti diketahui, SE Dirjen Pajak Nomor SE-56/PJ/2015 yang efektif pada 24 Juli 2015 mencabut aturan SE-09/PJ.42/1997 tentang Perlakuan Pajak Penerimaan Manfaat Asuransi Jiwa.
Dalam SE sebelumnya, selisih lebih antara manfaat tabungan yang diterima dengan premi yang telah dibayarkan diperlakukan sama dengan penghasilan dari bunga tabungan atau bunga deposito dan dikenakan PPh 15% bersifat final.
Dalam SE baru, disebutkan penegasan tersebut tidak sesuai dengan PP nomor51/1994 dan PP nomor 131/2000 yang mengatur bahwa PPh bersifat final hanya dikenakan atas bunga deposito atau tabungan yang ditempatkan di bank dan diskonto sertifikat Bank Indonesia dan hanya dibayarkan oleh Bank Indonesia.
Dengan begitu, selisih lebih antara manfaat tabungan yang diterima dengan premi yang dibayarkan tidak termasuk yang diatur dalam PP nomor 131 tahun 2000 sehingga perlakuan PPh atas penerimaan manfaat asuransi jiwa agar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hendrisman Rahim, Ketua Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menambahkan pihaknya meminta pertimbangan Direktorat Jenderal Pajak untuk memberikan penegasan tertulis interpretasi dari SE-56/PJ/2015 secara jelas dan rinci mengenai kalimat “sesuai ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku”.
Poin yang dipertimbangkan mengenai pembayaran manfaat asuransi jiwa yang dilakukan dalam kurun waktu 3 tahun atau kurang sejak polis berlaku merupakan pembayaran manfaat asuransi jiwa, bukan pembayaran bunga seperti yang disimpulkan oleh Direktorat Pajak dalam pertemuan sebelumnya.
Merujuk UU PPh pasal 4 ayat 3, Hendrisman mengatakan manfaat asuransi jiwa bukan merupakan objek pajak penghasilan sehingga tidak terdapat PPh pemotongan oleh perusahaan asuransi jiwa serta bukan merupakan objek pajak penghasilan di pihak pemegang polis.
“Kami berharap agar penerapan SE tersebut dilakukan sesegera mungkin dengan interpretasi yang tepat sesuai usaha asuransi jiwa yang dianut seragam oleh perusahaan dan Direktorat Pajak,” katanya dalam surat resmi, yang diterima Bisnis.
Dengan kejelasan aturan yang sepaham dengan pihaknya, Togar mengatakan bisnis asuransi jiwa berbasis investasi (unit linked) semakin menarik karena penarikan polis asuransi jiwa dibawah 3 tahun tidak dikenakan potongan seperti halnya berinvestasi dalam reksadana.
Namun, pencabutan aturan tidak menjelaskan secara tersirat mengenai pencabutan besaran pajak 15% sehingga bisa menimbulkan interpretasi dari nasabah dan berpotensi menggangu bisnis asuransi.
“Basically kami senang aturan ini, namun kami ingin adanya penegasan sehingga masyarakat jadi lebih pasti dan perusahaan asuransi juga tidak ada misinterpretasi dengan petugas pajak,” ujarnya.
PAJAK PEMEGANG POLIS : AAJI Minta Penegasan SE N0. 56
Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia meminta penegasan kebijakan Kementerian Keuangan terkait terbitnya Surat Edaran Dirjen Pajak No.56/PJ/2015 untuk kepentingan pemegang polis dan kelangsungan bisnis yang lebih kondusif.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Irene Agustine
Editor : Linda Teti Silitonga
Topik
Konten Premium