Bisnis.com, JAKARTA - Penurunan suku bunga acuan masih memberikan dampak terbatas terhadap rasio profitabilitas perbankan, meskipun margin bunga bersih (Net Interest Margin/NIM) saat ini mencatatkan pertumbuhan tertinggi sejak awal tahun 2024.
Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), NIM perbankan per September 2024 tercatat stabil di level 4,60%, angka yang sama dengan capaian pada Agustus 2024. Namun, level ini masih rendah dibandingkan Desember 2023 yang mencapai 4,81%
Jika ditelusuri lebih lanjut, pergerakan NIM perbankan sepanjang tahun 2024 menunjukkan fluktuasi. Pada Januari, NIM tercatat sebesar 4,54%, kemudian turun ke 4,49% pada Februari. Selanjutnya, NIM kembali menguat pada Maret mencapai 4,59%, sebelum mengalami penurunan tipis di April menjadi 4,56% dan stabil hingga Mei.
Pada Juni, NIM mulai menunjukkan tren penguatan di angka 4,57%, yang berlanjut hingga Juli 4,59% dan akhirnya mencapai puncaknya di Agustus dan September 4,60%.
Sebagaimana diketahui, NIM sendiri merupakan selisih antara suku bunga kredit yang diberikan perbankan dengan suku bunga yang dibayarkan kepada pemilik dana pihak ketiga (DPK) dalam bentuk simpanan atau pinjaman dana dari pihak lainnya.
Semakin besar angka NIM mengindikasikan bahwa potensi keuntungan perbankan dari dana yang disalurkan semakin besar.
Baca Juga
Sementara itu, meski rata-rata NIM perbankan menunjukkan perbaikan, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) menyatakan justru perseroan menghadapi tantangan. Di mana, NIM BMRI masih berpotensi tertekan akibat meningkatnya biaya pendanaan (Cost of Fund/CoF), yang membebani margin keuntungan dari aktivitas penghimpunan dan penyaluran dana.
“Jika melihat tren suku bunga, artinya benchmark rate ini akan diturunkan. Suku bunga fed fund rate turun. Artinya juga nanti masyarakat yang memiliki dana dalam USD mengharapkan bunga pasti turun. Tapi masih lebih menarik yang rupiah,” ujarnya dikutip pada Senin (25/11/2024).
Lebih lanjut, dirinya menyebutkan memang akan banyak konversi dari dolar kepada rupiah untuk ditaruhkan di instrumen rupiah, lantaran bunga rupiah dibayar lebih mahal.
Alhasil, Darmawan juga memproyeksikan cost of fund yang tidak akan turun hingga kuartal I/2025.
“Karena yang instrumen itu masih tetap bayar 7 persenan. Ini mungkin walaupun cut [suku bunga] sampai dengan akhir tahun untuk benchmark rate rupiah, mungkin pengaruhnya kepada bank tidak akan turun,” ucapnya.
Tercatat, net interest margin Bank Mandiri secara bank only per September 2024 mencapai 4,91%, turun dari periode yang sama tahun lalu yakni 5,35% pada September 2023.
Selanjutnya, dari sisi pemain lain seperti PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) mencatat hingga September 2024, NIM BCA mencapai 5,8% sejalan dengan peningkatan volume kredit, pergerakan suku bunga, dan cost of fund yang relatif terjaga.
Capaian tahun ini naik 26 basis poin (bps) dari periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 5,52% pada September 2023.
“Kami memproyeksikan NIM tetap terjaga hingga akhir 2024 sejalan dengan permintaan kredit di pasar, serta pergerakan suku bunga & kondisi likuiditas,” ujar EVP Corporate Communication & Social Responsibility BCA Hera F. Haryn kepada Bisnis, Senin (25/11/2024).
Tercatat, per Oktober 2024, total kredit BCA secara bank only naik sebesar 14,2% secara tahunan (YoY) menjadi Rp858 triliun. Pertumbuhan ini ditopang penyaluran kredit secara pruden oleh seluruh segmen pembiayaan.
Perlu diketahui, kata Hera, dalam melihat profitabilitas suatu bank NIM hanya merupakan salah satu komponen indikator profitabilitas dikarenakan belum memperhitungkan pendapatan nonbunga, biaya operasional perusahaan, dan biaya pencadangan kredit.
Sebelumnya, Direktur Keuangan BNI Novita Widya Anggraini juga mengatakan dari sisi margin secara yield atau pendapatan bunga (interest income) kian membaik dengan adanya pertumbuhan kredit yang positif.
“Komponen NIM ada itu kan interest income dan interest expense [beban bunga], dari interest expense tentunya ini kita melihat di semester pertama ini tekanan lebih banyak datang dari cost of fund,” ujarnya.
Namun, sejak Juli 2024, cost of fund BNI sudah mulai terkendali berkat kondisi likuiditas yang membaik serta proporsi dana pihak ketiga (DPK) yang lebih fokus pada jenis dana yang bersifat transaksi.
“Apakah ini dikuti dengan perbaikan NIM? Iya, NIM semester II/2024 lebih baik dibanding semester I/2024, tapi datangnya dari dua faktor yakni membaiknya pertumbuhan dan CoF yang terjaga,” ungkapnya.
Adapun, melansir riset MNC Sekuritas pada Senin (25/11/2024), disebutkan bahwa BBCA dan BMRI berhasil menjaga pertumbuhan NIM yang stabil meskipun ada tantangan dari suku bunga tinggi dan kondisi likuiditas yang ketat. Di sisi lain, BBNI dan BBRI menunjukkan pemulihan NIM yang signifikan secara kuartalan (Quarter on Quarter/QoQ).
Tercatat NIM BBNI pada kuartal III/2024 berada di level 4,15% dari kuartal sebelumnya 4,02%. Kemudian, NIM BBRI juga mencatatkan perbaikan yakni mencapai 6,45% pada kuartal III/2024, naik dari sebelunya hanya 6,41% pada kuartal II/2024.
“Kami memperkirakan NIM akan membaik secara signifikan pada [FY25E] tahun fiskal 2025 yang diperkirakan naik sebesar 3-5bps, karena tren potensial penurunan suku bunga sebesar 25bps pada kuartal IV/2024 dan 50bps pada FY25E,” tulis Research Analyst MNC Sekuritas Victoria Venny.
Dengan demikian, hal ini akan mendukung akselerasi pertumbuhan laba bank sebesar 11,3% secara tahunan (year on year/YoY) pada FY25E, didukung oleh pertumbuhan kredit yang lebih kuat dan ekspansi NIM yang moderat.