Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengamat Sebut Asuransi Bisa Batalkan Polis Pasca MK Tetapkan Pasal 251 KUHD Inkonstitusional Bersyarat

Pembatalan polis karena non disclosure atau misdisclosure bukan atas dasar gugatan wanpretasi akan tetapi atas dasar cacatnya pembentukan perjanjian.
Karyawan beraktivitas di dekat logo-logo perusahaan asuransi di kantor Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) di Jakarta, Senin (28/10/2024). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Karyawan beraktivitas di dekat logo-logo perusahaan asuransi di kantor Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) di Jakarta, Senin (28/10/2024). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menggelar pertemuan dengan pengamat hukum Ricardo Simanjuntak mengenai implikasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) sebagai inkonstitusional bersyarat. Diskusi ini bertujuan untuk memahami dampak hukum terhadap industri dan mencari terobosan atas putusan tersebut.

Ricardo Simanjuntak setelah diskusi mengungkap bahwa putusan MK tidak melarang pembatalan polis asuransi, baik yang terjadi karena adanya disclosure (pengungkapan) maupun non-disclosure (tidak adanya pengungkapan informasi). Namun, putusan tersebut menekankan bahwa tata cara pembatalan harus jelas, yaitu melalui kesepakatan antara perusahaan asuransi dengan nasabah atau cara lain lewat pengadilan.

Lebih lanjut disebutkan pembatalan polis karena non disclosure atau misdisclosure bukan atas dasar gugatan wanpretasi akan tetapi atas dasar cacatnya pembentukan perjanjian berdasarkan Pasal 1320 Perdata yang mengakibatkan tidak sahnya perjanjian tersebut.

"Yang ditekankan [dalam putusan MK] adalah tata cara pembatalan, yakni harus berdasarkan kesepakatan para pihak atau melalui pengadilan," ujar Ricardo kepada Bisnis, pekan lalu (30/1/2025)..

Ia menekankan bahwa dalam kontrak bersengketa (contentiosa), pihak yang merasa dirugikan yang seharusnya mengajukan gugatan. Artinya akan sangat sulit diperoleh kata sepakat seperti yang diarahkan oleh MK dalam putusannya.

Ricardo juga menyoroti potensi meningkatnya jumlah gugatan akibat putusan MK ini. Jika pembatalan polis harus melalui pengadilan dalam setiap kasus, hal ini dapat memperpanjang proses hukum dan menimbulkan ketidakpastian bagi industri asuransi.

"Ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan membanjiri pengadilan dengan sengketa baru. Oleh karena itu, kita perlu mencari solusi agar penyelesaian sengketa tidak selalu harus melalui jalur litigasi," jelasnya.

Dia memberi konteks dalam kesepakatan pembatalan polis maka terdapat ruang kesepakatan tersebut dibuat sejak awal kontrak atau baru disepakati setelah sengketa terjadi. Sebagai jalan pikiran, MK sendiri mengakui asas konsensus dalam kontrak sepanjang memenuhi syarat Pasal 1320 KUHPerdata, yang mencakup kesepakatan para pihak, kecakapan hukum, objek yang diperjanjikan, dan sebab yang sah.

"Jika sengketa dapat diselesaikan secara damai oleh kedua belah pihak, maka seharusnya hal tersebut dapat diatur sejak awal dalam polis. Namun, implementasinya harus dibuat rasional dan dapat dijalankan dengan baik," kata Ricardo.

Tantangan bagi OJK dan Industri Asuransi

Ricardo menyatakan bahwa saat ini belum ada konsep yang jelas mengenai mekanisme pembatalan setelah putusan MK. Oleh karena itu, pemerintah dan DPR harus merumuskan kebijakan baru, sementara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus menyesuaikan regulasi untuk memberikan kepastian hukum bagi industri.

"Ini menjadi momentum bagi perusahaan asuransi untuk meningkatkan proses underwriting agar lebih baik. Pembatalan polis karena cacat hukum bukan merupakan wanprestasi, sehingga harus ada mekanisme yang lebih jelas untuk mengaturnya," tuturnya.

Selain itu, diperlukan perubahan redaksi dalam polis asuransi agar aturan yang berlaku lebih jelas. "Kesepakatan para pihak menjadi kunci. Apakah harus disepakati sebelum konflik atau setelahnya? Kebebasan kontrak memberi kewenangan bagi para pihak, tetapi harus ada mekanisme yang adil agar tidak menimbulkan sengketa baru," pungkas Ricardo.

Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi menetapkan norma Pasal 251 KUHD yang dimohonkan oleh Pemohon inkonstitusional bersyarat. Pasal ini menjadi dasar bisnis di industri asuransi selama ini. Putusan ini tertuang dalam Pengucapan Putusan Nomor 83/PUU-XXII/2024 dalam perkara Pengujian Materiil Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang dimohonkan oleh Maribati Duha, pada Jumat (03/01/2025).

“Menyatakan norma Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, termasuk berkaitan dengan 'pembatalan pertanggungan harus didasarkan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung berdasarkan putusan pengadilan'," ucap Ketua Mahkamah Suhartoyo saat pembacaan amar Putusan Nomor 83/PUU-XXII/2024.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Anggara Pernando
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper