Bisnis.com, JAKARTA – Bank Indonesia diperkirakan akan melanjutkan pelonggaran moneter setelah mempertahankan suku bunganya selama tiga pertemuan berturut-turut.
Pemangkasan BI Rate tersebut dilakukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di tengah meningkatnya tarif dan ketidakpastian kebijakan perdagangan.
Menurut survei Bloomberg terbaru yang dikutip Senin (5/5/2025), para ekonom memperkirakan penurunan suku bunga acuan BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,5% pada akhir kuartal II/2025.
Mereka juga memperkirakan penurunan lebih lanjut sebesar 25 bps pada kuartal III/2025 menjadi 5,25% menjelang akhir tahun.
Inflasi indeks harga konsumen juga diproyeksi lebih moderat dari yang diharapkan ke 1,8% pada kuartal II/2025, lebih rendah dari perkiraan sebelumnya sebesar 1,9%, yang seharusnya memangkas angka setahun penuh menjadi 2% dari 2,1%.
Di sisi lain, tarif AS sebesar 32% yang direncanakan untuk barang-barang Indonesia mendorong para ekonom untuk menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun ini menjadi 4,8% dari sebelumnya 5%.
Baca Juga
"Risiko penurunan utama terhadap pertumbuhan dapat berasal dari penerapan tarif timbal balik dengan tarif lebih tinggi terhadap Indonesia setelah jeda 90 hari saat ini", kata analis Bank MUFG Lloyd Chan, seperti dikutip Bloomberg.
Pemerintah Indonesia saat ini sedang bernegosiasi dengan AS untuk menghindari tarif yang diperkirakan akan memukul sektor ekspor. Sebagai tanda peringatan dini dari dampak tarif, ukuran aktivitas manufaktur Indonesia turun ke level terendah sejak 2021, dengan pabrik-pabrik memangkas produksi dan pekerjaan pada bulan April.
Indonesia telah berjanji untuk meningkatkan impor energi dan pertaniannya dari AS, serta meningkatkan kerja sama untuk pasokan mineral penting dalam pembicaraan perdagangan.
Namun, pemerintah menggarisbawahi akan mengedepankan kepentingan nasional karena AS mendorong Indonesia untuk mencabut regulasi investasi dan mempermudah akses pasar.
Sementara itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS anjlok ke level terendah sepanjang sejarah bulan lalu, dipicu oleh aksi jual aset keuangan global sebagai dampak meningkatnya ketegangan perdagangan di seluruh dunia.
“Rupiah, yang sudah mendekati level terendah sejak krisis keuangan Asia, mungkin akan mengalami tekanan tambahan, dan berpotensi memerlukan intervensi lebih lanjut oleh Bank Indonesia,” kata Ahmad Mobeen, ekonom senior di S&P Global Market Intelligence.