Bisnis.com, JAKARTA — Bank Indonesia menyampaikan pihaknya terus berupaya menurunkan jumlah total atau outstanding dari instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia/SRBI demi mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas (DPMA) Bank Indonesia (BI) Erwin Gunawan Hutapea menyampaikan hal ini dilakukan bank sentral dalam rangka mendorong ekspansi likuiditas secara konsisten dan terukur.
“Jadi ini menunjukkan bahwa Bank Indonesia mencoba merilis likuiditas yang ada untuk dapat digunakan oleh perbankan,” ujarnya dalam Taklimat Media di Gedung Thamrin BI, Rabu (7/5/2025).
Tercermin dari nilai outstanding pada akhir 2024 di kisaran Rp923 triliun. Sementara per 21 April 2025, posisi instrumen andalan BI dalam menarik modal asing tersebut telah susut Rp41,14 triliun ke angka Rp881,86 triliun.
Erwin menyampaikan bahwa dengan ekspansi likuiditas tersebut akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Utamanya usai pada kuartal I/2025 ekonomi Indonesia melambat ke level 4,87% secara tahunan atau year on year (YoY) bila dibandingkan dengan kuartal I/2024 yang tumbuh sebesar 5,11%.
“Kami ingin pengen operasi BI itu dampaknya itu ekspansi untuk mendorong pertumbuhan, apalagi tengah situasi pertumbuhan menurun,” lanjutnya.
Baca Juga
Di samping adanya kebijakan insentif kebijakan likuiditas makroprudensial (KLM) yang telah digelontorkan, penurunan outstanding SRBI ini akan berdampak pada likuiditas yang mengalir ke industri akan lebih banyak.
Dengan kata lain, dengan menurunnya outstanding seiring dengan jatuh tempo dan penerbitan yang lebih sedikit, perbankan mau tidak mau akan mengalirkan kredit ke masyarakat sehingga ekonomi dapat berjalan.
BI mencatat realiasai pertumbuhan kredit pada Maret 2025 tercatat sebesar 9,16% YoY, lebih rendah dari 10,30% bulan Februari 2025.
Kondisi ini pun sebelumnya menjadi sorotan karena SRBI dinilai sangat menarik dengan imbal hasil atau yield di atas 7%. Akibatnya, perbankan enggan manyalurkan kredit dan memilih menyimpan dana di instrumen milik BI tersebut.
Peneliti Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute of Development on Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan menilai Bank Indonesia selalu beralasan bahwa upaya untuk menstimulus ekonomi itu bukan melalui kebijakan moneter, karena moneter untuk stabilitas nilai tukar rupiah.
Maka dari itu, BI mengeluarkan insentif KLM dengan pengurangan giro wajib minimum (GWM) agar kredit dapat diakselerasi.
“Sayangnya kebijakan ini tidak menarik bagi bank karena lebih menarik menaruh duitnya di SRBI,” ujarnya dalam diskusi publik Indef, Selasa (6/5/2025).