Bisnis.com, JAKARTA — Wacana merger tiga perusahaan pelat merah menyeruak di tengah tingginya defisit neraca pembayaran reasuransi. Pakar menilai bahwa otoritas dan pemerintah perlu melakukan kajian mendalam soal strategi menekan defisit itu terlebih dahulu sebelum mendorong penggabungan perusahaan.
Sebelumnya, OJK melaporkan bahwa defisit reasuransi terus melebar dalam tiga tahun terakhir. Pada 2022 nilai defisit sebesar Rp7,95 triliun, lalu pada 2023 menjadi Rp10,20 triliun, hingga pada 2024 membengkak menjadi Rp12,10 triliun.
Pakar asuransi Julian Noor berpendapat bahwa perlu kajian mendalam untuk menekan defisit transaksi di industri asuransi dan reasuransi sebelum melakukan upaya merger BUMN. Pasalnya, menurut dia, pertumbuhan industri asuransi tidak terlalu besar, sehingga otoritas dan pemerintah perlu melihat perkembangan kondisi atau ekosistem industri reasuransi.
“Karena untuk bisa menekan, selain kemudian ada kerja sama di antara reasuransi, ada juga persoalan masalah permodalan. Jadi ada dua hal itu yang menjadi kunci, sebetulnya,” ucapnya di Wisma Bisnis Indonesia, Jakarta, Senin (11/8/2025).
Baginya, kapasitas permodalan tetap menjadi aspek penting lantaran jika modal tidak bertambah, retensi atau kerugian yang dapat ditahan insurer pun tidak akan naik, sehingga retrosesi ke luar negeri juga akan menjadi lebih tinggi.
“Sebab itu menurut saya, konsep [upaya menekan defisit transaksi] ini mestinya dikaji lebih mendalam dulu, sebelum kita berbicara tentang persoalan nyangkut itu,” kata Komisaris Utama sekaligus Komisaris Independen Indonesia Re tersebut.
Baca Juga
Namun demikian, Julian menilai bahwa restrukturisasi perusahaan bukan satu-satunya jalan untuk menekan defisit reasuransi, sehingga langkah itu perlu dilakukan secara bertahap. Apabila dilakukan secara tergesa-gesa akan menimbulkan keributan.
“Jadi kalau saya katakan pemikirannya benar gitu ya, tetapi stepping-nya yang mesti harus dipertimbangkan,” tuturnya.
Berbagai upaya dapat dilakukan sebelum merger, seperti pengelolaan bisnis asuransi dengan prudent, hingga pengelolaan risiko antara pihak asuransi dan tertanggung (seperti dalam lini bisnis asuransi kredit). Upaya-upaya itu dapat menjaga kesehatan asuransi dan reasuransi, yang nantinya bisa turut menurunkan defisit reasuransi.
Teranyar, Otoritas Jasa keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa hingga sejauh ini belum menerima dokumen resmi dari pemerintah terkait konsolidasi BUMN asuransi dan reasuransi. Merger yang ditargetkan berlangsung pada 2028 mendatang itu mencakup tiga perusahaan, yakni PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) atau Indonesia Re, PT Tugu Reasuransi Indonesia (Tugure), dan PT Reasuransi Nasional Indonesia (Nasional Re).
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun (PPDP) OJK Ogi Prastomiyono menyebut rencana konsolidasi ini terdiri dari tiga perusahaan reasuransi pelat merah alias yang dimiliki pemerintah.
“Kami saat ini masih menunggu secara resmi rencana tersebut, karena sampai dengan saat ini kami belum menerima dokumen resmi dari pemerintah ataupun dari Danantara,” bebernya dalam konferensi pers daring Rapat Dewan Komisioner OJK, Senin (4/8/2025).
Pada prinsipnya, ujar Ogi, OJK memandang upaya konsolidasi itu adalah langkah positif asalkan dibarengi dengan kehati-hatian dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, serta memperhatikan tata kelola dan manajemen risiko.