Bisnis.com, JAKARTA - Tren membeli barang-barang mewah seperti tas atau jam bermerek untuk dijadikan instrumen investasi, mulai menyurut. Belakangan ini, publik kembali melirik investasi di pasar modal melalui share saving.
Fenomena ini tidak lepas dari kampanye dari PT Bursa Efek Indonesia (BEI) yang meluncurkan kampanye Yuk Nabung Saham. Kampanye ini bertujuan mengedukasi dan mengembangkan industri pasar modal, sekaligus menambah investor baru yang menyasar ke segmentasi generasi muda, seperti pelajar, mahasiswa, dan karyawan usia muda.
Membuka kesadaran masyarakat untuk berinvestasi saham ternyata mendapatkan sambutan positif. Hal tersebut karena banyak yang mempelajari pengetahuan dasar tentang saham.
Salah satunya adalah karyawan swasta Alvin Hilmansyah, yang akrab dengan saham sejak duduk di bangku kuliah. Menurutnya, ketertarikan untuk memiliki saham tidak dapat dilepaskan dari tingkat likuiditas yang terbilang tinggi.
“Saham itu likuiditasnya tinggi. Dibandingkan dengan bisnis properti atau emas yang likuiditasnya rendah,” kata pria yang telah menginvestasikan dana hingga Rp300 juta untuk membeli saham.
Kesadaran untuk berinvestasi saham ternyata juga dimiliki Bunga Mega, dosen sekaligus penulis buku. Dia mengaku cocok setelah setahun berinvestasi di saham. “Tujuan saya berinvestasi saham untuk pendidikan anak dan dana pensiun. Rata-rata saya mengalokasikan 20% dari pendapatan perbulan untuk saham,” katanya.
Bunga mengaku menempatkan investasi saham sebagai bentuk investasi jangka panjang. “Tantangan yang terbesar adalah menaham diri untuk tidak terpengaruh dengan pergerakan saham setiap harinya,” ujarnya.
Senada disampaikan Riniyanti Ambar. Sebagai ibu rumah tangga, dia mesti pandai-pandai mengelola keuangan keluarga. Instrumen saham dijadikannya sebagai alternatif investasi setelah sebelumnya memiliki reksa dana, dan tabungan.
Menurutnya, kebutuhan jangka panjang seperti biaya sekolah dan kuliah anak menjadi pertimbangan utama untuk memiliki saham. “Saya berinvestasi di saham yang berhubungan dengan kebutuhan rumah tangga, dan tentunya yang masih murah sebagai investasi jangka panjang,” katanya.
Riniyanti mengaku awalnya sempat takut menginvestasikan uang di saham. Namun, pandangan itu berubah setelah belajar tentang seluk beluk saham yang dinilai lebih menguntungkan dibandingkan menabung. “Oleh karena itu saya pindahkan dana yang tersimpan di tabungan ke saham,” ujarnya.
JANGAN BERJUDI
Dalam pandangan Wealth Asset Management Fioney Sofyan, sudah sewajarnya jika khalayak memiliki mindset yang lebih sederhana mengenai saham. “Yang cocok berinvestasi saham adalah siapa saja yang mau belajar dan tidak bermental instan,” ujarnya.
Alasannya cukup sederhana karena investasi saham akan berubah menjadi aktivitas perjudian jika investor pemula tidak mau meluangkan waktu untuk belajar investasi. “Pahami kalau investasi itu butuh waktu,” tegasnya.
Menurutnya, program Yuk Nabung Saham yang digagas oleh BEI itu membuka jalan kepada masyarakat dalam hal ini para ibu, karyawan muda, dan mahasiswa untuk akrab dengan saham.
“Banyak seminar tentang investasi di pasar modal. Melalui seminar tersebut mindset masyarakat dapat diubah. Selama ini orang salah kaprah menganggap investasi saham harus ada puluhan atau ratusan juta. Jadi mereka yang tadinya repot beli tas branded tiap bulan, bisa beralih ke saham. Banyak teman saya yang tadinya hobi beli tas menjadi beli saham,” jelasnya.
Fioney mengatakan selama ini terdapat pemahaman di masyarakat bahwa saham itu susah dan repot. Pandangan itu muncul karena belum terinformasikan bahwa investasi saham itu untuk jangka panjang, di atas lima tahun. “Yang terpenting jangan berpikir ini untuk jangka pendek. Intinya jika tidak mengerti [saham perusahaan] jangan membeli sahamnya,” ujarnya.
Meskipun menjanjikan keuntungan yang besar, investor pemula juga perlu memahami mekanisme dalam berinvestasi saham. Farah Dini Novita, perencana keuangan Janus Financial, menuturkan sebelum mengalokasikan dana untuk investasi, calon investor harus terlebih dulu memiliki cadangan dana darurat yang besarnya tiga kali pengeluaran per bulan.
“Jika belum memiliki dana sebesar itu saya menyarankan invetasi saham harus ditunda terlebih dahulu. Dana darurat ini harus ditempatkan di rekening yang berbeda dengan rekening dana sehari-hari. Jika sudah berhasil dipenuhi, investasi saham baru boleh dilakukan. Jadi besaran dana investasi yang ideal baru bisa diketahui setelah menyisihkan dana darurat,” jelasnya.
Selain itu, perlu dipahami bahwa saham adalah instrumen investasi jangka panjang. Hal ini penting dipahami bagi investor pemula karena nilai saham akan berfluktuasi sesuai kondisi pasar.
“Banyak investor pemula yang terlanjur panik saat saham yang dikoleksinya turun harga. Lama mengoleksi saham minimal sampai 3 tahun. Jadi investor saham tidak memikirkan koleksi sahamnya. Beli lalu lupakan,” katanya.
Investor saham juga disarankan untuk tidak perlu terlalu memusingkan masalah emiten. Pada saat membuka akun saham di perusahaan sekuritas, biasanya investor pemula mendapatkan hasil riset emiten tertentu secara rutin.
“Jadi tidak perlu lagi menghabiskan waktu mempelajari laporan keuangan emiten yang njlimet. Cukup dengan membaca ringkasan riset yang diberikan perusahaan sekuritas. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain soal kinerja yang mencakup pendapatan, laba, modal dan rasio utang terhadap modal,” ujarnya.
Terkait program Yuk Nabung Saham, Direktur Pengembangan BEI Nicky Hogan menuturkan hanya berbekal memasukkan dana sebesar Rp100.000 per bulan, masyarakat dapat membeli saham melalui perusahan sekuritas. Program yang sudah diluncurkan sejak November 2015 ini diharapkan dapat memposisikan investasi saham seperti tabungan yang dilakukan secara berkala.
“Kami sudah melakukan banyak sosialisasi mulai dari seminar, pameran, kuliah di kampus-kampus hingga pelatihan pasar modal. Selama ini sebenarnya kami melihat minat yang besar dari para calon investor pemula. Namun untuk mencapai tahap benar-benar menjadi investor saham inilah yang masih harus terus diupayakan. Kami akan kampanye hingga 3 tahun mendatang,” katanya.
Menurutnya, semua kalangan sangat pontensial memiliki saham ini. Mulai dari ibu rumah tangga hingga anak muda. BEI telah banyak melakukan sosialisasi tentang saham di 10 kampus yang membuka jurusan pasar modal. Ke depan, dijadwalkan untuk melakukan edukasi kepada para siswa yang duduk dibangku sekolah menengah atas hingga sekolah dasar. Hal itu dianggap tidak memberatkan karena pengenalan dasar tentang saham sudah mulai masuk dalam kurikurum pelajaran sekolah.
Berdasarkan survei yang dilakukan BEI, Nielsen, dan Universitas Indonesia, diketahui bahwa usia muda berpotensi besar menjadi investor saham. Dari hasil studi tersebut ternyata pemilikan saham mulai menjadi bagian gaya hidup masyarakat. “Artinya investor saham merasa lebih bangga dan merasa memiliki strata lebih tinggi dari sisi lifestyle. Artinya investasi saham memang mengarah ke gaya hidup,” tuturnya. (Rezza Aji Pratama, Tisyrin Naufalty T., & Novie Isnanda Pratama)