Bisnis.com, JAKARTA – Komisi XI dan Otoritas Jasa Keuangan menyepakati penundaan pelaksanaan aturan co-payment asuransi kesehatan.
Keputusan itu menjadi kesimpulan rapat kerja Komisi XI DPR RI dengan Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama Kepala Eksekutif Pengawas Asuransi, Dana Pensiun, dan Penjaminan hari ini, Senin (30/6/2025).
Ketua Komisi XI DPR Misbakhun mengatakan dalam penjelasan kesimpulan, penundaan ini dilakukan sampai dengan ditetapkannya aturan yang lebih tinggi yakni Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK).
"POJK kewengan penuh [regulator], silahkan didesain POJK seperti apa, di dalamnya co-payment seperti apa, co-benefit seperti apa, silahkan bapak [di OJK] atur," kata Misbakhun.
Dalam kesimpulan rapat kerja ini, disebutkan untuk memperkuat ekosistem asuransi kesehatan dan menciptakan keseimbangan manfaat antara pemegang polis dan keberlanjutan pelaku industri asuransi, maka akan diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) yang dikonsultasikan dengan Komisi XI DPR RI.
"Dalam rangka penyusunan RPOJK sebagaimana yang dimaksud dalam poin 2 (dua), OJK menunda pelaksanaan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 7 tahun 2025 tentang penyelenggaraaan produk asuransi kesehatan sampai diberlakukannya POJK," tertulis dalam kesimpulan.
Baca Juga
Sementara itu, dalam paparan di DPR, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, menjabarkan inflasi medis di Indonesia pada 2024 berada di level 10,10%, jauh lebih tinggi dibanding inflasi medis global yang mencapai 6,50%. Tahun ini, inflasi medis di Indonesia diestimasi akan menyentuh angka 13,60%, lebih tinggi dari proyeksi inflasi medis global yang ada di level 7,20%.
Semakin mahalnya biaya kesehatan ini, tercerminkan pada membesarnya rasio klaim kesehatan terhadap premi kesehatan.
"Pada 2019 itu 86,12%, puncaknya itu pada 2023 sebesar 97,52%, klaim hampir sama dengan premi diterima. Ini belum termasuk OPEX [biaya operasional] 10-15%. Jadi sebenarnya asuransi kesehatan itu rugi. Kalau termasuk OPEX, combined ratio-nya itu sudah di atas 100%," kata Ogi dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, Senin (30/6/2025).
Kondisi tersebut kemudian direspons oleh perusahaan asuransi kesehatan dengan meningkatkan premi kesehatan mereka. Hal itu tercermin pada lonjakan premi yang terjadi, di mana pada 2023 total premi kesehatan tercatat sebesar Rp26,26 triliun lalu melesat menjadi Rp40,19 triliun. Pertumbuhan premi ini lebih signifikan dibanding pertumbuhan klaim kesehatan yang turut naik dari Rp25,61 triliun menjadi Rp28,62 triliun, dari 2023 ke 2024.
Penyesuaian premi kesehatan tersebut sukses menekan rasio klaim kesehatan menjadi 71,23% pada 2024. Perbaikan kondisi industri tersebut dibayar dengan para nasabah polis asuransi kesehatan yang mengeluarkan biaya lebih banyak untuk asuransi kesehatan mereka.
"Jadi premi itu secara total di 2024 premi naik 43,01%, jadi beberapa nasabah pemilik polis merasa tinggi sekali kenaikan premi kesehatan, rata-rata 43,01%," ujarnya.
Kondisi industri tersebut juga membuat perusahaan asuransi yang memasarkan produk asuransi kesehatan berguguran. OJK mencatat pada 2023 terdapat 81 perusahaan asuransi yang menjual produk asuransi kesehatan, kemudian pada 2024 jumlahnya susut jadi 78 perusahaan.
Menyikapi kondisi tersebut, OJK kemudian menerbitkan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 7/SEOJK.05/2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan. Salah satu ketentuan dalam beleid ini adalah mengatur skema co-payment atau pembagian risiko.
Dengan skema co-payment, nasabah asuransi ketika mengajukan klaim asuransi kesehatan wajib menanggung 10% dari total klaim, dengan batasan maksimal Rp300.000 untuk rawat jalan dan Rp3 juta untuk rawat inap.
Co-payment ini mulai berlaku 1 Januari 2026, sementara untuk polis yang sudah berjalan OJK memberikan waktu hingga 31 Desember 2026 untuk penyesuaian polis yang mengakomodir skema co-payment.
Dengan mekanisme tersebut, OJK berharap lonjakan harga premi asuransi kesehatan bisa ditekan.
"Kami sudah meminta perusahaan asuransi untuk melakukan simulasi bagamana premi sebelum atau tanpa co-payment dan ada co-payment. Secara analisis untuk premi yang dengan co-payment itu lebih murah," tegasnya.