Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Umum Ikatan Bankir Indonesia (IBI) Haryanto T. Budiman mengatakan bahwa bankir harus peka terhadap kondisi ekonomi global yang dikhawatirkan mengalami resesi pada tahun ini. Selain itu, bankir juga dituntut peka terhadap isu keberlanjutan atau sustainability dan digitalisasi.
Haryanto mengatakan bahwa dunia menghadapi tantangan besar kenaikan suku bunga acuan yang diproyeksi berlanjut tahun ini. Kenaikan suku bunga acuan, termasuk di Bank Indonesia (BI) akan tergantung pada data inflasi.
Selain itu, kondisi geopolitik antara Rusia dan Ukraina belum mereda masih menjadi sumber ketidakpastian 2023. Kondisi ini menurutnya menjadi fokus bankir pada 2023.
Selain isu perekonomian global itu, bankir juga menurutnya harus peka terhadap isu sustainability. "Investor global sudah fokus pada aspek sustainability. Penerapan ESG [environment, social, and governance] di segala aspek jadi pertimbangan utama mereka dalam berinvestasi. Perbankan nasional pun tak luput dari isu itu," kata Haryanto dalam CEO Banking Forum pada Senin (9/1/2023).
Dia mengatakan, perbankan harus bisa menyesuaikan prinsip ESG baik dalam operasional bisnis hingga investasinya.
Selain itu, bankir juga mesti peka terhadap isu digitalisasi. "Perbankan telah menjalankan digitalisasi itu sebelum pandemi Covid-19, dan strateginya tepat sasaran. Sistem pembayaran dapat beroperasi baik saat pembatasan dengan digitalisasi," ujar Haryanto.
Baca Juga
Sejalan dengan fokus bankir tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menyebutkan adanya lima tantangan yang mesti dihadapi perbankan di tengah kondisi ekonomi yang tak menentu pada tahun ini.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan tantangan pertama adalah respon dari kebijakan pasca-pandemi Covid-19. "Sebagai regulator, OJK perlu mempertimbangkan pemulihan dari scarring effect dan cliff effect akibat pandemi," katanya dalam webinar beberapa waktu lalu.
Tantangan kedua adalah volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity atau VUCA. Pada tahun ini, menurutnya perbankan dihadapkan pada volatilitas harga hingga ketidakpastian rantai pasok global.
Tantangan ketiga adalah kekhawatiran adanya spill over effect atau fenomena ekonomi yang timbul akibat kebijakan. "Inflasi yang belum stabil, kemudian suku bunga tinggi, terus terjadi perlambatan ekonomi, serta kenaikan harga energi mesti diantisipasi perbankan," ujar Dian.
Tantangan keempat adalah perkembangan teknologi. "Pesatnya perkembangan teknologi seperti metaverse hingga kripto mesti disadari dengan kesiapan pada people process dan lainnya," kata Dian.
Tantangan kelima adalah bisnis perbankan yang menuju keberlanjutan. Menurutnya, perubahan iklim menuntut berbagai industri termasuk perbankan harus seiring dengan prinsip keberlanjutan. Ini kemudian ditindaklanjuti dengan sejumlah kebijakan seperti nol emisi karbon.
Untuk menghadapi tantangan itu, OJK pun telah menyiapkan sejumlah strategi. Dalam menghadapi tantangan kondisi ekonomi global, OJK misalnya melakukan perpanjangan restrukturisasi kredit secara terbatas hingga 2024. Sebelumnya, aturan OJK menetapkan bahwa relaksasi kredit restrukturisasi berakhir pada 31 Maret 2023. Namun, pada bulan lalu (28/11/2022) OJK resmi memperpanjang kebijakan tersebut secara bersyarat selama 1 tahun sampai 31 Maret 2024.
Lebih lanjut, OJK mengelompokkan sektor tertentu ke dalam tiga segmen, yakni segmen UMKM yang mencakup seluruh sektor, sektor penyediaan akomodasi dan makan-minum dan beberapa industri yang menyediakan lapangan kerja besar, yaitu industri tekstil dan produk tekstil (TPT) serta industri alas kaki.