Bisnis.com, JAKARTA - Sengketa terkait aspek perpajakan atas penjualan agunan yang diambil alih akibat kegagalan bayar debitur telah menjadi masalah yang seperti tak berujung. Surat Edaran Dirjen Pajak No. 121/2010 tentang Penegasan Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Usaha Perbankan menjadi pijakan fiskus mengenakan PPN atas penjualan agunan. Salah satu pasal dalam surat edaran dimaksud mewajibkan perbankan memungut PPN atas penjualan agunan.
Tidak semua perbankan menaati kewajiban tersebut. Alasan pengelakannya adalah bahwa penyerahan agunan bukan merupakan kegiatan usaha pokok perbankan. UU PPN mengatur salah satu syarat penyerahan barang yang dikenakan PPN adalah penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaan pengusaha.
Pasal 16D UU PPN kemudian menjadi jurus fiskus untuk tetap mengenakan PPN atas transaksi tersebut. Berdasarkan pasal ini, setiap penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan dikenakan PPN.
Argumentasi dari kedua pihak ternyata hanya menambah tumpukan sengketa di Pengadilan Pajak dan Mahkamah Agung. Padahal penumpukan sengketa yang terus terjadi dapat menimbulkan risiko sistem peradilan yang berjalan tidak efektif, akses terhadap keadilan sangat berkurang, dan pada gilirannya muncul potensi melemahnya supremasi hukum (Richard Susskind, 2015).
Hal ini kemudian mendorong Pemerintah untuk mencari jalan tengah. Memperlakukan penyerahan barang dalam mata rantai pinjam meminjam sebagai penyerahan yang terutang PPN dengan ketentuan yang sama dengan transaksi penyerahan pada umumnya, kurang memenuhi prinsip keadilan. Apalagi dasar hukum yang menjadi landasan berbentuk surat edaran, sehingga isu kepastian hukum juga dipertanyakan. Apabila dilihat dari sisi normatif, kepastian hukum dapat terbentuk ketika suatu peraturan yang dibuat dan diundangkan memuat materi aturan yang jelas dan logis (Darussalam, 2022).
Pada penghujung kuartal pertama 2023, Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 41/2023 (PMK-41) tentang PPN atas Penyerahan Agunan yang Diambil Alih oleh Kreditur kepada Pembeli Agunan. Terminologi yang digunakan dalam judul reglemen tersebut mengingatkan kita pada terminologi AYDA yang digunakan dalam UU perbankan.
Baca Juga
Peraturan Bank Indonesia No. 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum, mendefinisikan AYDA (Agunan Yang Diambil Alih) sebagai aset yang diperoleh Bank, baik melalui pelelangan maupun diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank.
Padahal lingkup PMK-41 tidak terbatas hanya pada AYDA dalam definisi perbankan, tetapi melingkupi setiap kredit, pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau pinjaman atas dasar hukum gadai.
PMK-41 meringkas tahapan transaksi perdata yang terjadi dalam transaksi pinjam meminjam. Kewajiban pemungutan PPN muncul pada transaksi paling hilir, yaitu ketika agunan yang telah dieksekusi oleh kreditur karena debitur gagal bayar, dijual kepada pembeli agunan. Subjek yang disyaratkan dalam skema pengaturan dibatasi pada kreditur, debitur, dan pembeli agunan.
Kreditur merupakan lembaga keuangan yang memberikan kredit, pembiayaan berdasarkan syariah , atau pinjaman atas dasar hukum gadai, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor keuangan.
Debitur merupakan nasabah yang memperoleh kredit, pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pinjaman atas dasar hukum gadai, atau yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan perjanjian kreditur dengan nasabah yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor keuangan. Sedangkan pembeli agunan adalah orang pribadi atau badan selain kreditur yang membeli agunan melalalui lelang atau di luar lelang.
Pemahaman yang tepat atas objek dan subjek dalam lingkup PMK-41 penting untuk membantu mentranslasi berbagai skema yang mungkin bervariasi di lapangan. Sepanjang suatu skema memenuhi pemetaan subjek dan objek berdasarkan ketentuan ini, maka PMK-41 dapat diterapkan.
Lahir sebagai regulasi yang solutif atas permasalahan yang selama ini terjadi, PMK 41 menawarkan beberapa kemudahan. Pertama, PMK-41 menggeser saat pembuatan faktur pajak. Faktur pajak yang merupakan bukti pemungutan PPN, seharusnya sudah diterbitkan pada saat terjadi penyerahan hak atas agunan ketika debitur gagal bayar, kepada kreditur. Namun, dengan mempertimbangkan psikologis debitur dalam kondisi gagal bayar, maka kewajiban pembuatan faktur pajak digeser kepada kreditur. Waktunya adalah pada saat pembayaran atas penjualan agunan diterima oleh kreditur.
Kedua, tarif efektif yang rendah. Dengan formula besaran tertentu, tarif efektif yang dikenakan atas transaksi penjualan agunan ini adalah 1,1%.
Ketiga, kemudahan administrasi. Pemungutan PPN oleh kreditur berstatus PKP, mewajibkan pembuatan faktur pajak. Namun, PMK-41 memberikan kemudahan pembuatan dokumen penagihan atau dokumen tertentu lainnya yang dipersamakan dengan faktur pajak.
Kesederhanaan yang ditonjolkan dalam PMK yang hanya terdiri dari 10 pasal ini menimbulkan keterbatasan di lain sisi. PMK ini belum bercerita mengenai mekanisme pelepasan agunan melalui lelang. Padahal, sebagian besar pelepasan agunan dilakukan melalui badan penyelenggara lelang. PMK-41 juga tidak mengatur secara khusus skema pembelian hak tagih (cessie).
Untuk menyempurnakan kemudahan beleid yang berlaku sejak 1 Mei 2023 ini, perlu ditambahkan penerbitan PMK yang lain. PMK yang mengatur lebih lanjut mengenai penjualan agunan melalui pelelangan dan praktek jual beli hak tagih yang makin dinamis di lapangan, perlu segera ditetapkan.