Bisnis.com, JAKARTA — Utang jatuh tempo SRBI alias Sekuritas Rupiah Bank Indonesia mencapai Rp922,4 triliun selama 2025. Apabila tidak dikelola dengan baik oleh Bank Indonesia, dikhawatirkan besaran utang jatuh tempo tersebut akan berdampak negatif ke cadangan devisa.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede menjelaskan SRBI cenderung menyebabkan negative carry bagi Bank Indonesia (BI) atau kondisi biaya pendanaan suatu aset lebih tinggi daripada pendapatan yang didapatkan dari aset tersebut. Alasannya, karena yield atau imbal hasil SRBI lebih tinggi daripada obligasi pemerintah yang menjadi underlying-nya.
Sebagai contoh, pada awal tahun dalam lelang perdana SRBI 2025 yield rata-rata diminta (weighted average bidding rate) ada di kisaran 7,29%. Sementara itu, yield SBN atau surat berharga negara tenor 10 tahun (contoh underlying SRBI) sebesar 7,18% per 10 Januari 2025.
"Dengan banyaknya SRBI yang akan jatuh tempo pada 2025, strategi BI yang mengandalkan SRBI dan pembelian obligasi pemerintah dapat meningkatkan biaya operasionalnya," ujar Josua kepada Bisnis, Senin (13/12025).
Oleh sebab itu, dia menyarankan agar BI melakukan penyesuaian strategi seperti menyesuaikan yield SRBI agar tetap kompetitif tanpa membebani biaya operasional yang signifikan.
Selain itu, tambah Josua, penggunaan SRBI perlu dilengkapi dengan intervensi pasar valuta asing yang lebih agresif terutama dalam menghadapi volatilitas tinggi.
Sejalan dengan itu, dia menekankan pentingnya BI memastikan stabilitas fundamental domestik seperti cadangan devisa (cadev) yang memadai dan likuiditas pasar agar mendukung efektivitas SRBI.
"Terakhir, BI perlu mengelola persepsi pasar terhadap risiko rupiah dengan memberikan panduan kebijakan yang lebih jelas untuk meningkatkan kepercayaan investor asing," tutupnya.
Sementara itu, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David Sumual menjelaskan tingginya nilai utang jatuh tempo SRBI selama 2025 akan berpotensi menyebab crowding out atau fenomena peningkatan pinjaman pemerintah sehingga berkurangnya ketersediaan pendanaan bagi sektor swasta.
Fenomena tersebut terjadi karena investor cenderung lebih tertarik membeli obligasi yang diterbitkan pemerintah atau bank sentral daripada milik swasta. Bagaimanapun, obligasi terbitan pemerintah dan bank sentral jauh lebih aman/terjamin daripada milik swasta.
Singkatnya, David mengingatkan agar BI membayar utang SRBI dengan sumber pembiayaan yang tidak merugikan perekonomian secara keseluruhan. Apalagi, SRBI menjadi instrumen paling diminati oleh investor asing.
Dia mengingatkan bahwa tantangan perekonomian global semakin besar akibat terpilihnya kembali Donald Trump yang proteksionis sebagai presiden Amerika Serikat (AS). Ditakutkan, cadev juga akan terdampak secara negatif karena investor akan menarik dananya dari pasar keuangan Indonesia akibat ketidakpastian perekonomian global.
"Kekhawatiran utama masih soal seberapa agresif kebijakan tarif Presiden Trump," jelas David kepada Bisnis, Senin (13/1/2025).
Sebagai informasi, utang jatuh tempo SRBI sebesar Rp922,4 triliun selama 2025 melebihi jumlah utang jatuh tempo pemerintah sebesar Rp800,3 triliun selama 2025.
David mencatat jika dirincikan berdasarkan kuartalan maka utang SRBI tersebut akan jatuh tempo sebesar Rp192,38 triliun pada satu Kuartal I/2025, Rp277,53 triliun pada Kuartal II/2025, Rp248,28 triliun pada Kuartal III/2025, dan Rp204,22 triliun pada Kuartal IV/2025.
Sedangkan Bank Danamon (BNLI) mempunyai catatan sedikit berbeda. Dia mengungkapkan total utang jatuh tempo SRBI mencapai Rp885,74 triliun selama 2025.
Josua merincikan total utang SRBI tersebut akan jatuh tempo sebesar Rp143,94 triliun pada Kuartal I/2025, Rp289,3 triliun pada Kuartal II/2025, Rp248,28 triliun pada Kuartal III/2025, dan Rp204,2 triliun pada Kuartal IV/2025.
Kepala Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso tidak menampik data-data tersebut. Dia hanya menjelaskan bahwa posisi utang SRBI sebesar Rp922,5 triliun pada awal 2025.
SRBI sendiri mempunyai tenor atau jangka jatuh tempo tidak lebih dari setahun (enam bulan, sembilan bulan, dan 12 bulan). Artinya, jika posisi utang SRBI sebesar Rp922,5 triliun pada awal 2025 maka BI harus membayar keseluruhannya selama tahun itu juga.
Ramdan mengaku BI tidak asal menerbitkan SRBI. Meski jumlahnya tidak sedikit, namun BI sudah menyiapkan strategi pembiayaannya.
"Dalam menerbitkan SRBI, Bank Indonesia selalu mempertimbangkan kondisi likuiditas di pasar uang," kata Ramdan kepada Bisnis, Senin (13/1/2025).