Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ongkos Kesehatan Rp175,5 Triliun Ditanggung Sendiri oleh Rakyat, OJK Beberkan Datanya

Belanja out of pocket atau biaya kesehatan yang ditanggung sendiri oleh masyarakat mencapai Rp175,5 triliun, lebih besar dari yang ditanggung asuransi swasta.
Ilustrasi asuransi kesehatan. / dok. Freepik
Ilustrasi asuransi kesehatan. / dok. Freepik

Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut total belanja kesehatan di Indonesia pada 2023 sebesar Rp614,5 triliun. Dari jumlah tersebut, 28,6% atau Rp175,5 triliun di antaranya adalah belanja kesehatan yang dikeluarkan sendiri oleh masyarakat alias out of pocket.

Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono menjabarkan dari angka Rp614,5 triliun tersebut, sebesar 57% belanja kesehatan melalui skema publik. Rinciannya adalah melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan dan program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dari BPJS Ketenagakerjaan, Asabri atau Taspen sebesar Rp166,4 triliun atau 27,1%. 

Kemudian, sebesar 23,7% atau Rp145,4 triliun belanja kesehatan dari skema publik yang diselenggarakan pemerintah daerah, lalu sebesar 1,7% atau Rp10,6 triliun diselenggarakan kementerian/lembaga lainnya, dan sebesar 4,9% atau Rp30,1 triliun diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan.

Sebaliknya, biaya kesehatan dari skema non-publik pada 2023 mencapai 42,6%. Rinciannya, asuransi kesehatan swasta sebesar Rp30,7 triliun atau hanya 5%, kemudian dari skema korporasi (reimbursement) sebesar 7,9% atau Rp48,3 triliun, serta dari dana sosial dan bantuan yang diselenggarakan lembaga non-profit berkontribusi atas 1,2% atau Rp7,4 triliun.

Terakhir, belanja kesehatan out of pocket dari masyarakat secara mandiri mencapai Rp175,5 triliun dengan presentase paling besar dari komponen-komponen belanja kesehatan yang ada, yakni mencapai 28,6%.

"Ada penduduk yang biaya kesehatannya tidak menggunakan BPJS atau asuransi, jadi dibayar sendiri. Ini masih besar. Kita berharap dengan perbaikan industri asuransi swasta lebih efisien dengan layanan yang lebih baik, jadi yang di atas [skema publik] dan yang di bawah [out of pocket] akan bergeser ke asuransi kesehatan," kata Ogi dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, Senin (30/6/2025).

Peguatan asuransi kesehatan swasta menurutnya akan menjadi win-win solution. Bila belanja kesehatan dari skema publik dan out of pocket bisa digeser ke asuransi swasta, hal itu akan mengurangi beban anggaran negara sekaligus memperluas proteksi kesehatan masyarakat yang belum terlindungi.

Namun yang menjadi masalah, premi asuransi kesehatan saat ini semakin mahal karena adanya faktor inflasi medis. Untuk itu, OJK telah membuat skema co-payment alias bagi risiko antara pemegang polis dan perusahaan asuransi. Melalui skema ini nasabah wajib menanggung 10% dari total klaim kesehatan dengan batas maksimal Rp300.000 untuk rawat jalan dan Rp3 juta untuk rawat inap.

Tidak sampai sana, OJK juga sedang menyusun skema coordination on benefit (CoB) yang menungkinkan asuransi swasta dan BPJS Kesehatan dapat berkolaborasi menanggung klaim kesehatan yang diajukan peserta aktif BPJS Kesehatan.

"Sedang dibahas OJK, CoB antara asuransi swasta dan BPJS Kesehatan. Lalu [ada] mengenai co-payment. Ini untuk memperbaiki efisiensi dan [mewujudkan] ekositem yang lebih baik," pungkasnya.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar memaparkan bahwa berdasarkan sebuah kajian di level regional, terdapat protection gap di kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia sebesar US$886 miliar pada 2022.

"Hal ini mencerminkan belum meratanya proteksi asuransi terhadap berbagai risiko kesehatan, sementara di sisi lain risko-risiko tersebut, termasuk bencana alam dan penyakit kritis maupun risiko lain terus meningkat," ujarnya.

Namun yang menjadi PR, kapasitas industri asuransi Indonesia tertinggal jauh dibanding negara ASEAN lainnya. Jika ditinjau berdasarkan nilai aset industri asuransi dibandingkan PDB, Indonesia hanya ada di level 5,12%, jauh tertinggal dibanding Malaysia yang ada di 45,21%, Singapura 53,30%, hingga Thailand yang mencapai 23,72%.

Tak berbeda jauh jika dibandingkan penetrasi asuransi. Rasio ini mengukur jumlah premi asuransi dibanding PDB nasional. Indonesia, masih berada di level 2,84%, jauh tertinggal dari Singapura yang sudah 12,5%. Bahkan untuk negara berkembang seperti Malaysia dan Thailand, masing-masing sudah di level 3,80% dan 4,60%.

"Saat ini kapasitas industri asuransi di Indonesia dapat dikatakan masih terbatas dalam memberikan proteksi kepada masyarakat dan pelaku usaha. Aset perusahaan asuransi di Indpnesia mencapai 5,12% dari PDB yang kalau dibanding rata-rata ASEAN itu 15%. Ini di luar Singapura yang sudah hampir 70%. Nilai aset asuransi Indonesia relatif kecil," pungkasnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper