Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) melaporkan bahwa premi unit-linked atau produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi (PAYDI) terus mengalami penurunan. Per semester I/2025 saja turun 11,7% (year on year/YoY) menjadi Rp32,4 triliun.
Menyikapi tren tersebut, Ketua Sekolah Tinggi Manajemen Risiko dan Asuransi (STIMRA) Abitani Taim membeberkan tiga penyebab hal tersebut terjadi. Pertama, adanya krisis kepercayaan lantaran kasus gagal bayar yang terjadi di perusahaan asuransi tak kunjung selesai.
Kedua, kinerja investasi dianggap Taim tidak menggembirakan. Menilik data Bloomberg, indeks harga saham gabungan alias IHSG menguat 11,96% (year to date/YtD) ke level 7.926,90 pada Senin (25/8/2025). Namun demikian, kinerjanya hanya naik tipis 0,27% secara tahunan (year on year/YoY) dari level 7606,19.
Indeks LQ45 juga mengalami penurunan 12,75% (YoY) ke level 828,91, dari sebelumnya 950,05. Adapun, secara tahun berjalan indeks LQ45 hanya tumbuh 0,27% (YtD) dari 826,64 ke 828,81.
“Ketiga, regulasi yang dianggap berat bagi perusahaan asuransi jiwa yang menjual unit-linked, sehingga meninggalkan bisnis unit-linked,” katanya kepada Bisnis, Senin (25/8/2025).
Selain ketiga hal tersebut, Taim berpendapat bahwa SEOJK Nomor 5/2022 tentang PAYDI juga memengaruhi penjualan produk unit-linked. Meski begitu, dia tidak bisa merincikan seberapa besar pengaruhnya karena membutuhkan penelitian ilmiah yang independen.
Baca Juga
Walaupun demikian, dia melihat bahwa PAYDI masih bisa memiliki prospek yang baik selama perusahaan asuransi dan OJK dapat menjawab semua kekhawatiran masyarakat.
“Misalnya dengan mengeluarkan inovasi investasi yang relatif aman dan stabil,” ujar dia.
Senada, pengamat asuransi Dedy Kristianto berpandangan premi unit-linked turun dalam 5 tahun terakhir karena kepercayaan publik menurun dan kinerja pasar modal fluktuatif.
Kemudian, terdapat perubahan preferensi nasabah, imbas pandemi dan kondisi ekonomi, tantangan distribusi, hingga perbandingan dengan produk kompetitor. Tidak sampai di situ, menurutnya SEOJK Nomor 5/2022 tentang PAYDI juga turut memengaruhi.
“Regulasi ini menyebabkan waktu closing lebih panjang dan agen asuransi sulit untuk menjual produk tersebut, harus ada kewajiban fact finding & suitability test calon nasabah, pembatasan biaya akuisisi dan biaya administrasi serta transparansi risiko investasi yang lebih detail,” jelasnya.
Dedy memprediksi bahwa produk unit-linked hingga akhir 2025 cenderung stagnan alias tidak lagi terjun bebas, tetapi juga belum mampu untuk tumbuh pesat.
“Adapun untuk prospek jangka pendek lebih ke stabilisasi dan pemulihan kepercayaan daripada ekspansi. Produk proteksi murni [life and health insurance] tetap jadi motor utama pertumbuhan industri asuransi jiwa di 2025,” pungkasnya.
Sebagai informasi, AAJI pun mencatat bahwa perolehan premi asuransi tradisional per semester I/2025 mencapai Rp55,2 triliun, tumbuh 6,5% (YoY) dari Rp51,81 triliun. Laju pertumbuhannya memang tidak sebesar pada semester I/2024, ketika perolehan premi asuransi tradisional naik 18,6% (YoY) dari Rp43,68 triliun pada semester I/2023.