Dalam hitungan kurang dari 20 bulan, Indonesia akan terintegrasi dengan pasar tunggal negara-negara Asia Tenggara atau yang dikenal sebagai Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada 2015. Di dalam sistem itu aliran barang, jasa dan tenaga kerja terlatih akan menjadi lebih bebas. Sejumlah sektor, termasuk jasa keuangan dengan industri asuransi di dalamnya, siap atau tidak, akan terlibat dalam liberalisasi ini.
Mengacu kepada konsep MEA, bukan tidak mungkin sistem ini akan memicu investor asuransi asing untuk melakukan ekspansi yang lebih masif ke dalam pasar Indonesia. Begitu juga dengan perusahaan Indonesia untuk bertandang ke luar.
Munawar Kasan, staf pengajar Sekolah Tinggi Manajemen Asuransi (STMA) Trisakti, mengatakan ekspansi perasuransian Indonesia ke luar negeri tidak mendesak. “Namun, perlu dirintis untuk bisa bermain di tingkat regional Asean,” katanya kepada Bisnis.
Dengan berlakunya sistem itu, perusahaan asuransi dinilai perlu berpikir untuk hadir di Vietnam, Myanmar atau Filipina yang memiliki tingkat penetrasi asuransi (persentase premi dibandingkan dengan produk domestik bruto) lebih rendah dari pada Indonesia.
Namun, sebelum jauh melangkah ke luar negeri, perlu diingat juga jika potensi perkembangan industri asuransi di dalam negeri sangat besar. “Harus realisitis juga bahwa potensi besar di Indonesia jangan jatuh ke tangan asing,” katanya.
Sebelum sistem ini berlaku, investor asing melalui perusahaan patungan (joint venture) telah menunjukkan taringnya sebagai kekuatan yang tidak dapat dianggap enteng terutama di industri asuransi jiwa.
Berdasarkan data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), pangsa pasar investor asing di Indonesia mencapai 59,26%. Berbeda dengan saudaranya, industri asuransi umum dinilai masih menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Munawar menilai sistem MEA 2015 tidak perlu dikhawatirkan karena industri asuransi di Indonesia lama liberal. “Dalam regulasi awal, asing hanya boleh punya saham 80%, tetapi apabila terus menambah modal dan partner lokal nggak nambah, saham lokal akan terdilusi. Asing bisa kuasai saham 99,99% perusahaan asuransi di sini,” katanya.
Kendati pasar akan menjadi lebih bebas, OJK dinilai tetap perlu berpihak ke industri asuransi nasional. Regulator diusulkan untuk membuat syarat tertentu bagi investor asing yang hendak bertamu ke dalam negeri.
“Misalnya, rating asuransi minimum, syarat minimum modal, syarat tenaga ahli dan lain-lain. Kita tentu tidak mau perusahaan asuransi asing yang masuk ke Indonesia itu perusahaan yang kurang bagus. Mereka harus memberikan nilai tambah yang besar bagi industri,” katanya.
Lebih jauh lagi, bila perlu, investor asing itu harus memiliki program asuransi mikro. Mengapa? Agar asing tidak hanya meraup untung namun juga ikut peduli kepada masyarakat kecil. Selain keberpihakan regulator, perusahaan asuransi juga dinilai perlu tidak tinggal diam. Kompetensi sumber daya manusia dan teknologi informasi perlu digenjot. “Juga menambah modal dan jalur distribusi yang menjangkau masyarakat,” katanya.
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Bidang Riset dan Aktuaria Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Azwir Arifin menyatakan regulasi yang ada pada saat ini belum sepenuhnya melindungi perusahaan asuransi lokal.
Salah satu regulasi yang kelak perlu dipikirkan regulator adalah soal pembukaan kantor cabang. OJK perlu memberikan batasan, misalnya, perusahaan asuransi hanya boleh membuka kantor cabang di sejumlah wilayah tertentu. “Bagaimana nanti kalau perusahaan asuransi asal Singapura buka cabang dari Sabang sampai Merauke, karena pasar mereka sudah habis [di sana]. Regulasi sangat dibutuhkan,” kata Azwir
Kornellius Simanjuntak, Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), mengatakan dalam menghadapi sistem ini regulator perlu melibatkan industri termasuk apabila ada perundingan. “Kalau ada perundingan sebaiknya perlu sharing dengan industri.”
Sebelum sistem ini benar-benar dijalani Indonesia, OJK memang berencana menggelar perundingan dengan regulator negara tetangga. Firdaus Djaelani, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK, mengatakan perundingan itu akan membahas soal sejauh mana liberasisasi digelar. “Oke, kalau kita mudahkan Malaysia masuk ke sini. Namun, kami ingin Malaysia memudahkan, misalnya, perusahaan-perusahaan asuransi, banking,kita masuk ke pasar mereka,” kata Firdaus.
Asas reprosikal juga menjadi kata kunci dalam kerja sama lintas-negara itu agar industri asuransi dalam negeri juga dapat menikmati keuntungan, bukan hanya kebuntungan, mengingat potensi semakin kerasnya persaingan dalam MEA pada 2015 nanti. Bagaimana OJK akan bersikap? Kita tunggu saja