Bisnis.com, JAKARTA - UU No.1 Tahun 2016 tentang Penjaminan yang berlaku efektif pada 2019 memberikan peluang pasar yang lebih besar kepada industri penjaminan, termasuk perusahaan penjaminan syariah. Namun, perusahaan penjaminan syariah masih menghadapi sejumlah tantangan.
Managing Director Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Toto Pranoto menuturkan, pihaknya baru-baru ini melakukan riset penetrasi pasar industri penjaminan syariah pada awal tahun ini. Hasil riset tersebut menunjukkan, secara umum pengetahuan pengguna jasa terhadap penjaminan sudah baik, serta mengetahui peran dan manfaat penjaminan.
Sedangkan alasan tidak menggunakan jasa penjaminan syariah karena ada pembiayaan yang risikonya kecil sehingga pengguna jasa tidak memerlukan jasa penjaminan dan memutuskan untuk mengelola risikonya sendiri (tabarru). Pengguna jasa juga sadar akan pentingnya diversifikasi risiko sehingga tumbuhnya pemain-pemain baru yang memiliki kemampuan permodalan yang cukup juga membuat pengguna jasa memiliki keleluasaan untuk membagi risiko.
"Ketika ditanya kenapa belum menggunakan penjaminan syariah, di antaranya karena risk appetite yang berbeda dan diversifikasi risiko yang mereka sudah paham," tuturnya, belum lama ini.
Lebih lanjut, hasil riset itu menunjukkan, industri penjaminan syariah masih menghadapi sejumlah tantangan di antaranya terkait kecukupan modal, kompetensi dan kecukupan SDM, jumlah pemain yang masih terbatas, dan kolaborasi perusahaan level nasional dan daerah (Jamkrida) yang perlu ditingkatkan.
"Hal itu menjadi kunci bagaimana penjaminan syariah bisa tumbuh lebih besar," imbuhnya.
Berdasarkan data statistik OJK terkait lembaga penjamin Indonesia per Juni 2018 menunjukkan, ada 2 pemain di penjaminan swasta syariah dengan jumlah aset sebesar Rp1,04 triliun. Aset perusahaan penjaminan syariah berkontribusi 5,72% terhadap total aset industri penjaminan sebesar Rp18,12 triliun.
Adapun, 21 perusahaan penjaminan lainnya terdiri dari 1 perusahaan penjaminan pemerintah, 18 perusahaan penjaminan daerah, dan 2 perusahaan penjaminan swasta konvensional. Perusahaan penjaminan pemerintah memberikan kontribusi terbesar yakni 81,64% terhadap total aset industri penjaminan, diikuti perusahaan penjaminan daerah sebesar 12,09%. Sedangkan perusahaan penjaminan swasta konvensional berkontribusi 0,54%.
Wakil Sekjen Asippindo (Asosiasi Perusahaan Penjaminan Indonesia) Amin Mas'udi mengatakan, peluang perusahaan penjaminan yang terbuka lebar telah diatur melalui Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan.
Ayat (1) menyebutkan, usaha penjaminan meliputi pertama, penjaminan kredit, pembiayaan, atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang diberikan oleh lembaga keuangan. Kedua, penjaminan pinjaman yang disalurkan oleh koperasi simpan pinjam atau koperasi yang mempunyai unit usaha simpan pinjam kepada anggotanya. Dan ketiga, penjaminan kredit dan atau pinjaman program kemitraan yang disalurkan oleh badan usaha milik negara dalam rangka program kemitraan dan bina lingkungan.
Ayat (2) menjelaskan, selain usaha penjaminan yang dimaksud pada ayat (1), perusahaan penjaminan dapat melakukan penjaminan atas surat utang, penjaminan pembelian barang secara angsuran, penjaminan transaksi dagang, penjaminan pengadaan barang dan atau jasa (surety bond), penjaminan bank garansi (kontra bank garansi), penjaminan surat kredit berdokumen dalam negeri, penjaminan letter of credit, penjaminan kepabeanan (customs bond), penjaminan cukai, pemberian jasa konsultasi manajemen terkait dengan kegiatan usaha penjaminan, dan kegiatan usaha lainnya setelah mendapat persetujuan dari OJK.
Menurutnya, ruang lingkup yang sangat itu semestinya dapat dimanfaatkan oleh perusahaan penjaminan. Namun, di sisi lain ada tantanga yang berat seperti sumber daya manusia serta sertifikasinya. "Di samping potensi tadi, ada tantangan yang harus dihadapi bersama," imbuhnya