Bisnis.com, JAKARTA - Peraturan baru mengenai pencatatan imbal jasa penjaminan dikeluhkan oleh perusahaan penjaminan bermodal kecil.
Direktur Utama Penjaminan Kredit Daerah (Jamkrida) Sumatera Selatan Dian Askin Hatta menilai, pencatatan baru yang mengacu pada SEOJK No. S-129/ 2017 telah memberatkan perusahaan penjaminan dengan modal kecil.
Dia mengatakan kebijakan tersebut membuat biaya operasional yang dikeluarkan perusahaan tidak tertutupi oleh pendapatan. Pasalnya, pencatatan IJP dengan sistem akrual tahunan membuat pemasukan perusahaan terpangkas.
“Saya lihat, kalau seperti Jamkrindo tidak jadi masalah memakai sistem akrual. Yang kasihan teman-teman saya yang modalnya cuma Rp25 miliar. Jika diterapkan [kebijakan pencatatan IJP] pendapatan mereka dari investasi deposito untuk operasional itu tidak cukup,” kata Dian dikutip Bisnis.com, Kamis (24/1/2019).
Dian menuturkan, kebijakan tersebut berpotensi membuat sebuah perusahaan penjaminan menjadi minus.
“Kalau minus, apa boleh perusahaan BUMD minus? Karena tujuan pendirian BUMD untuk menambah pendapatan asli daerah, diharapkan perusahaan untung bukan rugi,” kata Dian.
Dian melanjutkan, sejumlah jamkrida berencana bertemu dengan OJK membahas mengenai pencatatan IJP dengan sistem akrual yang dinilai merugikan perusahaan penjaminan di daerah. Saat ini, jumlah jamkrida mencapai 18 perusahaan.
“Seluruh Jamkrida akan membuat audiensi dengan OJK,” kata Dian.
Menurut Dian, agar pencatatan IJP kembali membaik Assosiasi Perusahaan Penjaminan Indonesia (Asippindo) perlu mendorong perusahaan penjaminan agar dapat meningkatkan pangsa pasar lewat UU No. 1/2016 tentang Penjaminan yang telah berlaku secara efektif pada 19 Januari 2019.
“Momen ini hendaknya dapat dimanfaatkan oleh pelaku industri penjaminan untuk dapat mengoptimalkan potensi penjaminan yang menjadi ranah industri penjaminan,” kata Dian.