Bisnis.com, JAKARTA - Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mendorong agar pembentukan Lembaga Penjamin Polis asuransi dipercepat.
Ketua BPKN Rizal Halim menilai keberadaan Lembaga Penjamin Polis sangat diperlukan untuk melindungi pemegang polis dan memastikan industri perasuransian berjalan dengan sehat. Hal ini juga telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
"Kalau ada Lembaga Penjamin Polis kita bisa bentengi masyarakat secara berlapis," ujar Rizal dalam FGD Booming dan Krisis Industri Asuransi dalam Perspektif UUD 1945 & Pancasila, Rabu (8/9/2021).
BPKN mencatat sepanjang semester I/2021, terdapat pengaduan masyarakat sebanyak 2.055 pengaduan terkait industri jasa keuangan. Dari jumlah tersebut, sekitar 1.600 pengaduan merupakan pengaduan terkait sektor asuransi.
Dia memandang bahwa bisnis asuransi yang seharusnya memberikan perlindungan kepada masyarakat, nyatanya konsumen tidak terlindungi sama sekali. Banyak regulasi yang dikemas dengan framing perlindungan ke masyarakat tidak bisa berjalan dengan baik.
Banyaknya produk asuransi yang dikombinasikan dengan investasi (unit-linked) juga banyak menimbulkan masalah.
Baca Juga
"Konsolidasi pasar di sektor ini tidak terjadi sampai sekarang. Bagaimana pemain yang tidak cukup diminta bergabung atau keluar dari industri ini, tidak terjadi. Bagaimana mengembalikan sektor bisnis ini ke core business karena masalah mulai terjadi ketika menggandeng tambahan bisnis di luar core business. Celakanya ini tidak dikelola dengan baik dan tidak diawasi dengan baik," katanya.
Selain mendorong percepatan pembentukan Lembaga Penjamin Polis, BPKN juga merekomendasikan sejumlah hal. Pertama, melakukan pengawasan dini dengan mewajibkan perusahaan asuransi melaporkan instrumen keuangan yang digunakan untuk menempatkan dana masyarakat agar dapat mencegah potensi kerugian masyarakat.
Kedua, segera membuat peraturan turunan yang mengatur persyaratan agen asuransi yang bersertifikat, serta memiliki kredibilitas jelas dan sistematis dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Ketiga, meningkatkan pengawasan terhadap klausula baku dengan melakukan kontrol terhadap perjanjian dan/atau klausul baku sebelum digunakan perusahan asuransi dan memastikan bahwa perjanjian yang beredar tidak melanggar ketentuan klausul baku dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan POJK No.1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Keempat, memberikan tindakan dan sanksi tegas terhadap perusahaan asuransi yang melanggar ketentuan klausul baku.
Terakhir, membuat pedoman bagi perusahaan asuransi untuk melengkapi perjanjian asuransi dengan ringkasan perjanjian tentang manfaat dan risiko agar mudah dipahami konsumen.