Bisnis.com, JAKARTA – Polis yang dikeluarkan perusahaan asuransi kepada nasabah mulai 2028 akan dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), seperti halnya yang dilakukan selama ini pada industri perbankan. Dengan begitu, perusahaan asuransi yang menjadi peserta penjaminan akan membayar premi penjaminan sebagai ganti proteksi.
Praktisi Manajemen Risiko dan Ketua Umum Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi) Wahyudin Rahman mengusulkan besaran premi penjaminan yang akan dibayar perusahaan asuransi dapat mengacu pada pendapatan premi neto yang didapat perusahaan.
"Besaran premi penjaminan, jika perbankan membayar 0,1% dari DPK per tahun, maka untuk asuransi bisa dipertimbangkan antara 0,05%–0,15% dari premi neto yang dijamin, dengan mekanisme pembayaran per semester atau per kuartal," kata Wahyudin kepada Bisnis, Selasa (29/7/2025).
Untuk industri perbankan yang dijamin LPS, limit klaim penjaminan ditetapkan sebesar Rp2 miliar per nasabah per bank, sedangkan untuk perusahaan asuransi, Wahyudin menyarankan angka yang lebih kecil yaitu maksimal Rp1 miliar per pemegang polis dan disesuaikan dengan produk asuransinya.
Sementara itu, untuk lini bisnis atau produk asuransi yang bisa dijamin LPS mulai 2028 nanti Wahyudin mengusulkan dimulai dengan produk proteksi murni seperti asuransi jiwa tradisional. Untuk di asuransi umum dia mengusulkan produk asuransi kebakaran dan kendaraan bermotor. Menurutnya, untuk produk berbasis investasi atau risiko kompleks seperti unit linked tidak perlu dijamin, setidaknya dalam tahap awal implementasinya nanti.
Adapun nantinya perusahaan asuransi yang akan menjadi peserta penjaminan LPS akan ditetapkan indikator finansial sebagai syarat. Wahyudin mengusulkan perusahaan asuransi harus memenuhi kriteria kesehatan, seperti RBC minimal 120%, likuiditas 150%, ekuitas Rp500 juta dan tidak dalam status pengawasan khusus oleh OJK.
Baca Juga
"Praktik penjaminan asuransi di luar negeri seperti Amerika Serikat [NAIC] dan Korea Selatan [KDIC] sudah lebih dulu menerapkan. Di Asia Tenggara, Malaysia lewat PIDM menjamin produk, proteksi hingga MYR 500.000. Indonesia bisa mengadopsi model bertahap dan fokus ke produk proteksi dasar lebih dulu," jelasnya.
Apabila berjalan 2028 nanti, penjaminan asuransi oleh LPS akan menjadi proteksi berlapis bagi industri asuransi setelah reasuransi. Wahyudin menjelaskan bahwa reasuransi melindungi perusahaan asuransi dari risiko besar. Sementara, LPS melindungi nasabah dari risiko kebangkrutan perusahaan asuransi.
Menurutnya, kombinasi antara reasuransi dan penjaminan LPS akan menciptakan sistem perlindungan berlapis yang bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat dan mendorong pertumbuhan industri asuransi.
Namun untuk mencapai kondisi ideal itu, Wahyudin mencatat setidaknya ada tiga tantangan yang perlu dilewati. Pertama, belum semua perusahaan asuransi memiliki tata kelola dan transparansi laporan keuangan yang memadai, termasuk dalam penilaian kewajiban (liabilitas) sesuai PSAK 117.
Kedua, beragamnya produk asuransi menuntut klasifikasi yang jelas soal produk mana yang layak dijamin. Ketiga, risiko moral hazard perlu diantisipasi agar penjaminan tidak membuat pelaku industri abai terhadap prinsip kehati-hatian. Tantangan keempat adalah beban premi, di mana kenaikan premi pasti terjadi karena ada komponen tambahan ketika penjaminan polis berlaku.
"Agar penjaminan berjalan optimal, industri dan regulator perlu memastikan kesiapan data, sistem pengawasan, perhitungan aktuaria, serta sinergi antara OJK dan LPS. Transisi menuju skema penjaminan ini juga perlu didukung oleh edukasi publik agar tidak menimbulkan salah persepsi," pungkasnya.