Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dolar AS Melemah, BI Punya Celah Turunkan Suku Bunga Acuan?

Bank Indonesia (BI) dan sejumlah bank sentral di Asia dinilai punya ruang untuk menurunkan suku bunga acuan karena dolar AS melemah.
Karyawan melintas didekat logo Bank Indonesia (BI) di Jakarta. / Bisnis-Abdullah Azzam
Karyawan melintas didekat logo Bank Indonesia (BI) di Jakarta. / Bisnis-Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA — Aksi jual di pasar saham global dapat menjadi celah untuk bank sentral di kawasan Asia, termasuk Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga acuan jika nilai tukar dolar AS mengalami pelemahan berkelanjutan.

Mengutip Bloomberg pada Rabu (7/8/2024), nilai tukar mata uang negara-negara Asia terhadap dolar AS melonjak ke level tertingginya dalam lima bulan pada pekan ini. Ringgit Malaysia dan Yuan China menjadi beberapa contoh mata uang yang menikmati penguatan ini meski berbalik koreksi kembali pada Selasa (6/8/2024).

Penguatan tersebut terjadi di tengah sejumlah kekhawatiran investor di pasar termasuk anggapan bahwa The Fed terlalu lamban dalam melonggarkan kebijakan moneternya. 

Pelemahan nilai tukar merupakan salah satu alasan bank sentral, termasuk di China dan Korea Selatan, cenderung berhati-hati dalam menurunkan suku bunga, meskipun tekanan harga di negara-negara berkembang di Asia secara umum lebih rendah dibandingkan di sebagian besar negara maju.

Sementara itu, tingkat imbal hasil (yield) obligasi AS yang menguat membuat para pemilik dana global enggan masuk ke pasar Asia. 

Tren tersebut kemungkinan akan berubah seiring dengan meningkatnya proyeksi pelaku pasar terkait kenaikan suku bunga The Fed yang akan menguntungkan kawasan Asia.

"Melemahnya dolar dan rendahnya imbal hasil AS akan memberikan lebih banyak ruang bagi bank sentral Asia dalam hal potensi pelonggaran moneter, jika kondisi makro dalam negeri membenarkan penurunan suku bunga,” kata Frances Cheung, Rates Strategist di Oversea-Chinese Banking Corp, dilansir dari Bloomberg, Rabu (7/8/2024).

Menurutnya, pelemahan dolar AS yang berkelanjutan harus direspons oleh bank sentral di Taiwan dan Indonesia. Pasalnya, kedua bank sentral tersebut harus menaikkan suku bunga pada awal tahun ini untuk mempertahankan mata uang mereka. 

Sementara itu, Bank sentral India terlihat beralih ke sikap netral sejak akhir pekan ini. Adapun, keputusan suku bunga Thailand, Indonesia, dan Korea akan diumumkan pada akhir bulan ini.

Ekonom Bank of America Corp, Kai Wei Ang memproyeksikan Bank Indonesia (BI) akan menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin setiap kuartal mulai September 2024, bukan Desember 2024. 

"Ruang untuk pelonggaran kebijakan moneter telah terbukti. Pemotongan [suku bunga acuan] pada Agustus 2024 ini juga tidak dapat dikesampingkan," katanya.

Adapun, investor meningkatkan posisinya pada potensi The Fed untuk menurunkan suku bunga setelah pertemuan Bank Sentral AS tersebut secara mendadak pada Rabu pekan lalu. Pada pertemuan tersebut, Gubernur The Fed Jerome Powell mengisyaratkan penurunan suku bunga pada September 2024 dapat terjadi.

Pernyataan tersebut kemudian diikuti rilis data pasar tenaga kerja yang lemah pada hari Jumat pekan yang sama.

Pasar swap memperkirakan penurunan suku bunga The Fed hampir 50 basis poin pada September. Sementara itu, data yang dikumpulkan oleh Bloomberg menunjukkan ekspektasi penurunan suku bunga dalam beberapa bulan mendatang semakin meningkat di Korea, Thailand, dan Malaysia.

Sementara itu, pasar obligasi China menguat seiring dengan harapan investor terkait kelanjutan penurunan suku bunga. Bank-bank pemerintah China menjual obligasi pemerintah dalam jumlah besar, sebuah langkah yang membantu menarik imbal hasil lebih tinggi dari rekor terendah.

Di sisi lain, inflasi indeks harga konsumen atau headline inflation meningkat di Korea Selatan dan India dalam beberapa bulan terakhir. Sementara itu, Gubernur bank sentral Filipina Eli Remolona pada 6 Agustus lalu mengisyaratkan peluang kecil penurunan suku bunga pada minggu depan setelah inflasi mencapai level tertinggi dalam sembilan bulan.

Peran tradisional dolar AS sebagai aset safe-haven akan selalu dapat kembali muncul jika pasar terus goyah atau ancaman geopolitik di Timur Tengah meningkat.  

Begitu pula dengan kembalinya fenomena Trump trade, yaitu menaruh dana pada aset seperti dolar AS atau Bitcoin yang dipandang mendapat manfaat dari kebijakan fiskal yang lebih longgar dan tarif yang lebih tinggi jika Donald Trump kembali terpilih sebagai Presiden AS

"Mereka mungkin tidak akan melakukan pemotongan sampai The Fed melakukan pemotongan. Terutama ketika pasar sangat fluktuatif," kata Jon Harrison, Managing Director for Emerging Market Macro Strategy di GlobalData TS Lombard.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper