Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Paylater, antara Bisnis Baru Leasing dan Kebutuhan Hidup Masyarakat

Permintaan kredit dengan skema Buy Now Pay Later (BNPL) alias paylater terus bertumbuh di tengah masarakat, bahkan saat ekonomi melemah.
Ilustrasi wanita sedang berbelanja di situs online menggunakan skema pembayaran paylater./ Dok. Freepik.
Ilustrasi wanita sedang berbelanja di situs online menggunakan skema pembayaran paylater./ Dok. Freepik.

Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bisnis Buy Now Pay Later (BNPL) atau paylater terus menggelembung. Khusus industri leasing saja, model bisnis ini mencapai Rp7,99 triliun per Agustus 2024.

Capaian itu melonjak tajam alias setara kenaikan 89,20% secara tahunan (year on year/yoy) apabila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Sementara, tingkat kredit bermasalah dilihat dari nonperforming financing (NPF) gross dalam kondisi terjaga yakni posisi 2,52% per Agustus 2024. Angka tersebut turun apabila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya pada Juli 2024 yakni 2,82%. 

Iwan Dewanto, Direktur PT Indodana Multi Finance mengatakan lini bisnis paylater telah tumbuh signifikan dalam 5 tahun terakhir. Dalam catatannya, kontrak pembiayaan dengan skema BNPL di industri leasing dari 2019 hingga 2023 mencatatkan pertumbuhan sebesar 144,35%.

"Pada akhir 2023 tercatat sebesar 82,56% dari total kontrak di perusahaan pembiayaan merupakan transaksi BNPL," kata Iwan saat ditemui di Midaz Senayan, Jakarta, Rabu (9/10/2024).

Iwan menjelaskan meski secara kontrak mendominasi, nominal transaksinya masih sangat kecil dibanding total piutang pembiayaan. Piutang pembiayaan BNPL oleh perusahaan pembiayaan per Agustus 2024 sebesar Rp7,99 triliun. Sementara total piutang pembiayaan perusahaan pembiayaan di bulan yang sama mencapai Rp499,29 triliun.   

"Kenapa kita kontraknya besar karena dari pembiayaan kecil-kecil itu, seperti beli token listrik, beli pulsa, itu belinya Rp200.000 saja terhitung kontrak. Itu kenapa mendominasi kontrak 82,56%, tapi dari nominalnya itu hanya berkontribusi 20%," kata Iwan.

Potensi pasar BNPL perusahaan pembiayaan yang terbuka sangat lebar tersebut menurutnya karena lini bisnis ini menyasar segmentasi masyarakat unbanked, di mana dia menjelaskan presentase masyarakat unbanked di Indonesia ada 67%.

Namun potensi pangsa pasar yang besar itu di sisi lain juga menghadirkan tantangan tersendiri. Dia menjelaskan karakteristik masyarakat unbanked memiliki profil risiko yang tinggi. Hal ini juga yang membuat pembiayaan BNPL perusahaan pembiayaan masih minor jika dibandingkan dengan pembiayaan BNPL dari sektor perbankan.

"Kenapa masih belum mendominasi dari sisi nominal dibanding pembiayaan yang lain seperti pembiayaan untuk investasi atau produktif, pertama kita sifatnya kan ritel, kecil-kecil. Dan kita pun kita tidak mungkin mengambil unbanked semuanya karena kami harus memastikan nasabah yang kami akuisisi harus dipastikan kemampuan membayarnya bagus," kata Iwan.

Tantangan berikutnya adalah soal literasi keuangan. Iwan menjelaskan karakteristik penerima pinjaman BNPL saat ini didominasi kelompok umur 18-35 tahun. 

Iwan menggambarkan kebiasaan dari penerima pinjaman kelompok usia tersebut cenderung sangat pas dengan kemudahan yang ditawarkan produk BNPL yang mudah untuk mendapat pinjaman.

"Memang 18-35 tahun itu anak muda. Kemudahan itu memang membuat orang utang, ambil ambil ambil terus. Di sisi lain, kami intens melakukan literasi. Kita tidak sekadar jualan, tapi memastikan kalau nasabah berutang harus diselesaikan," pungkasnya.

Dalam kesempatan terpisah, Ekonom dan Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengungkap piutang paylater menjadi andalan likuiditas masyarajat di tengah penurunan daya beli.  

“Masyarakat akan cari pembiayaan yang cocok bagi karakteristik masing-masing penduduk. Daya beli mereka menurun namun di satu sisi kebutuhan mereka tetap ada, bahkan meningkat,” kata Huda saat dihubungi Bisnis, Kamis (3/10/2024).

Huda mengatakan bagi masyarakat yang tidak bisa mengakses perbankan, karena tidak mempunyai data historis keuangan yang bagus, mereka akan mengandalkan pembiayaan alternatif. Salah satu yang banyak digunakan adalah pinjaman dengan skema paylater. 

“Bagi mereka, ya pemenuhan kebutuhan kan sudah seharusnya dipenuhi, salah satu caranya menggunakan BNPL. Maka dari itu, terjadi kenaikan BNPL saat ini. PHK terjadi besar-besaran, daya beli masyarakat tengah melemah,” katanya. 

Huda juga menyinggung terkait dengan aturan paylater yang mana masih dalam tahap kajian oleh regulator. Adapun beberapa poin yang dikaji oleh regulator antara lain persyaratan perusahaan pembiayaan yang menyelenggarakan kegiatan BNPL, kepemilikan sistem informasi, perlindungan data pribadi, rekam jejak audit, sistem pengamanan, akses dan penggunaan data pribadi, kerja sama dengan pihak lain, serta manajemen risiko.

Menurutnya, untuk aturan paylater, idealnya harusnya sudah mengacu ke Undang-undang yang berlaku. 

“Ketika sudah ada UU Perlindungan Data Pribadi, ya sudah sewajarnya pengaturan BNPL juga mengacu ke sana. Soal perlindungan data pihak ketiga, hingga penggunaan data pribadi. Idealnya mengacu ke UU PDP, termasuk aturan pidana soal kebocoran data pribadi,” ungkapnya.

Paylater Perbankan

Tidak hanya paylater dari perusahaan pembiayaan, OJK juga melaporkan bisnis paylater yang dijalankan industri perbankan terus mencatatkan pertumbuhan tinggi hingga Agustus 2024.

Porsi produk kredit paylater bank tercatat sebesar 0,24% dibandingkan dengan total kredit, sama dengan angka pada bulan sebelumnya. Namun, terdapat peningkatan signifikan pada baki debet dan jumlah rekening.

“Per Agustus 2024, baki debet kredit BNPL tumbuh 40,68% dari Juli 2024 sebesar 33,66%, menjadi Rp18,38 triliun,” demikian dikutip dari keterangan resmi OJK, Selasa (1/10/2024).

Pertumbuhan signifikan juga terjadi dari sisi jumlah rekening. OJK mencatat total jumlah rekening paylater bank sebanyak 18,95 juta hingga bulan kedelapan tahun ini, bertambah dari bulan sebelumnya sebanyak 17,9 juta rekening. 

Tren itu beriringan dengan penurunan risiko kredit BNPL perbankan. OJK mencatat risiko kredit BNPL bank turun tipis dari level 2,24% pada Juli 2024 menjadi 2,21% pada Agustus 2024.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper