Bisnis.com, JAKARTA – Kondisi keuangan Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) Jiwasraya memprihatinkan. Berdasarkan hasil audit 2023, keuangan DPPK Jiwasraya mengalami defisit sebesar Rp371,79 miliar.
Terjadi kesenjangan antara aset neto Rp96,07 miliar dengan nilai kini aktuaria sebesar Rp467,86 miliar. Artinya, aset DPPK Jiwasraya hanya sebesar Rp96,07 miliar dibanding kewajiban yang harus dibayar kepada peserta DPPK sebesar Rp467,86 miliar.
Lutfi Rizal, Direktur Operasional dan Keuangan Jiwasraya mengatakan, terjadi fraud dalam pengelolaan dana pensiun DPPK Jiwasraya yang menyebabkan keuangan menyusut tajam.
"Kalau kita sampaikan, kondisinya mirip dengan Jiwasraya. Ada tata kelola dari investasi yang tidak sesuai dengan ranah manajemen risiko yang prudent. Jadi kalau kita bilang, pengelolaan investasinya mirroring dengan kasus Jiwasraya," kata Lutfi saat RDP dengan Komisi VI DPR RI, Kamis (6/2/2025).
Lutfi menjelaskan, berdasarkan audit investigasi yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam laporannya pada 31 Desember 2024 menyebut bahwa ada fraud dengan nilai mencapai Rp257 miliar.
Dilihat dari tren keuangan, DPPK Jiwasraya mulai mengalami defisit pada 2003. Dari periode 2003 sampai 2012, DPPK Jiwasraya konsisten mencetak defisit, kecuali pada 2007. Kemudian, pada 2013 DPPK Jiwasraya tiba-tiba mencatatkan surplus.
Baca Juga
"Yang anomali, kenapa 2013 jadi positif? Apakah ada top up atau hal lain? Setelah kita audit investaigasi BPKP ternyata di 2012 ada aksi [fraud] yang dilakukan pengurus dan Dewan Pengawas [Dewas] DPPK," kata Lutfi.
Lutfi menuturkan, mulanya sampai dengan Februari 2012, instrumen investasi saham yang dilakukan DPPK Jiwasraya dilakukan pada 68 emiten LQ45 dan Kompas100 seniai Rp56 miliar. Berikutnya, pada 22 Februari 2012, ada arahan dari Dewas yang meminata DPPK Jiwasraya menempatkan dana kelolaan pada saham-saham bermasalah.
Selain itu, Dewas DPPK Jiwasraya juga memberi arahan agar penjuaan saham dilakukan pada harga perolehan, tidak lagi sesuai ketentuan yang seharusnya penjualan dilakukan di harga pasar wajar. Arahan ketiga, Dewas meminta disiapkan uang tunai sebesar Rp25 miliar.
Pada 16 Maret 2012, berdasarkan arahan tersebut dibuatlah perjanjian pengelolaan portofolio efek dengan PT Treasure Fund Investama (TFI). Dengan begitu, TFI mengelola portofolio dana kelolaan DPPK Jiwasraya yang terdiri atas instrumen saham senilai Rp56 miliar, obligasi Rp900 juta, dan uang tunai Rp25 miliar.
"TFI ini kalau ditelusuri ini afiliasi dari Heru Hidayat. Isi perjanjiannya, TFI mengelola portofolio DPPK," jelasnya.
Selanjutnya, pada tanggal 19, 20 dan 31 Maret 2012, portofolio dana kelolaan DPPK Jiwasraya dirombak. Aset yang dilepas adalah 66 emiten saham senilai Rp45 miliar, obligasi Infoasia senilai Rp962 juta dan uang tunai Rp25 miliar, diganti dengan saham dari tiga emiten, IIKP, TRAM dan HADE senilai Rp67,3 miliar.
"Dan setelah ditelusuri, tiga saham ini sama terafiliasi semuanya dengan Heru Hidayat. Dari tiga saham ini dari 2012 sampai 2019, dilakukan sama yang dilakukan induk Jiwasraya. Induk Jiwasraya jual, di bawah jual. Jadi semuanya dikondisikan oleh induknya untuk pengelolaan portofolio DPPK," jelas Lutfi.
Dalam periode 2012-2019 tersebut, jual beli saham bermasalah terus dilakukan, di antaranya adalah seperti saham suspend yang ditransaksikan, transaksi saham tidak tercatat di bursa, sampai adanya saham give away, alias tidak ada transaksi, tetapi tiba-tiba masuk di portofolio DPPK Jiwasraya. Pada 2019, tersisa 22 emiten saham yang dikelola di portfolio DPPK Jiwasraya dan semuanya emitennya non-LQ45 dan Kompas100.
Atas kejanggalan ini, Lutfi mengatakan, BPKP telah melakukan dua kali audit. Pertama, audit khusus tujuan tertentu menemukan potensial loss sebesar Rp204,3 miliar. Kedua, audit investigasi yang menemukan potensial loss lebih besar, yaitu Rp257 miliar dari fraud tersebut.
Fraud dalam tata kelola portofolio investasi DPPK Jiwsraya ini yang ditengarai membuat keuangan DPPK Jiwasraya dalam periode 2013 sampai 2018 terus surplus.
"Itu sebenarnya transaksi yang dilakukan bandar, yang dilakukan oleh Joko Hartono Tirto sama Heru Hidayat. Ini mirrroring sekali dengan Jiwasraya," tegasnya.
Selanjutnya, pada 2019, kasus Jiwasraya mulai terendus kejanggalannya. Hal itu membuat pengelolaan investasi portofolio DPPK Jiwasraya juga terbengkalai. Hasilnya, keuangan DPPK Jiwasraya kembali defisit, dari 2019 berlanjut hingga saat ini.
"Tahun 2018 ke 2019 negatif lagi, 2019 minus Rp298,04 miliar. Kalau dilihat, ketika 2019 kasus Jiwasraya merebak dan para pelaku mulai diproses hukum sehingga pengelonaan invetasi tidak ada yang kelola. Dari sini, dari 2018 ke 2019, 2019 penuruna aset penempatan investasi yang tidak menerapkan manajemen risiko sehingga shrinking aset turun Rp177 miliar dari harga perolehan," pungkasnya.