Bisnis.com, JAKARTA – Program Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) sejauh ini tidak optimal, bahkan jumlah lahan padi nasional yang bisa dijangkau program ini hanya 3% sampai 6% dari luas lahan padi nasional.
AUTP adalah program pemerintah yang dilaksanakan melaui penugasan kepada PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo).
Group Head Asuransi Program Pemerintah, PT Asuransi Jasa Indonesia Setiadi Imansyah menjabarkan program AUTP dimulai pada 2015. Dalam rentang tersebut, rekor lahan padi paling besar yang mengikuti program AUTP terjadi pada 2020 dengan luas 1 juta hektare (Ha).
Sisanya, luas lahan padi yang terlindungi asuransi AUTP tidak pernah menyentuh satu juta. Bahkan, pada 2024 lalu hanya 278.694 Ha.
"Perjalanan ini cukup panjang di mana sampai saat ini minat petani asuransi masih rendah. Dibuktikan dengan realisasi angka-angka ini," kata Setiadi saat acara soft launching Peta Jalan AAUI Asuransi Pertanian, Senin (24/3/2025).
Selain minat petani yang kurang, kendala lainnya adalah anggaran program pemerintah yang masih terbatas. Setiadi menjelaskan bahwa program AUTP ini masih bergantung pada kemampuan anggaran subsidi pemerintah, yakni untuk membayar premi sebesar 80% dengan maksimum bantuan untuk satu juta Ha per tahun. Ditambah, saat ini ada efisiensi belanja negara.
Baca Juga
Dalam program AUTP ini, harga pertanggungan ditetapkan sebesar Rp6 juta per Ha per musim taham. Sementara itu, premi asuransi AUTP adalah sebesar 3% dari nilai pertanggungan, yaitu sebesar Rp180.000 per Ha per musim tanam.
Dengan begitu, pemerintah pusat melalui APBN membantu membayar 80% premi tersebut yakni sebesar Rp144.000 per Ha per musim tanam, sedangkan 20% sisanya senilai Rp36.000 per Ha per musim tanam semestinya dibayarkan oleh petani.
"Harapannya 20% ini petani, ternyata tidak maksimal. Akhirnya pemerintah daerah memberikan bantuan lagi 20%. Akhirnya 80% pemerintah pusat dengan APBN, 20% pemerindah daerah dengan APBD," ujarnya.
Pemerintah yang hanya mengalokasikan bantuan premi AUTP untuk lahan seluas satu juta Ha per tahun tersebut, jauh di bawah luas lahan padi nasional. Hal ini lah yang membuat perlidungan asuransi padi di Indonesia masih sangat minim.
Sementara di lain sisi, willingness to pay petani untuk membayar 20% premi asuransi juga masih sulit.
"Tantangan lainnya adalah petani yang ikut secara swadaya cenderung petani yang memiliki lahan berisiko tinggi atau lahan endemis. Petani mau mengasuransikan lahan berisiko tinggi. Petani lihat kalau lahan berpotensi sering mendapat klaim, mereka baru mau mengasuransikan," pungkasnya.