Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah dinilai perlu memberikan stimulus pada sektor perbankan di tengah gejolak kebijakan tarif impor Amerika Serikat (AS) dan pelemahan nilai tukar rupiah.
Pengamat perbankan dan praktisi sistem pembayaran Arianto Muditomo menyebut pemerintah sebaiknya mempertimbangkan pemberian stimulus yang bersifat selektif dan strategis untuk menjaga stabilitas sektor perbankan, yang merupakan tulang punggung sistem keuangan nasional.
"Stimulus yang tepat bukan dalam bentuk bailout langsung, melainkan melalui dukungan likuiditas, insentif fiskal, dan stabilisasi makroekonomi," kata Arianto saat dihubungi, Senin (7/4/2025).
Dia menuturkan, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) dapat memperkuat mekanisme repo untuk menjaga likuiditas bank, memberikan insentif pajak atas penyaluran kredit ke sektor produktif dan UMKM, serta mempercepat reformasi struktural guna menarik arus modal masuk yang dapat memperkuat nilai tukar.
Selain itu, dukungan terhadap digitalisasi perbankan dan penguatan sistem pembayaran nasional juga dapat menjadi stimulus jangka panjang. Hal ini agar sektor perbankan lebih efisien dan tangguh terhadap tekanan eksternal.
Senada, Head of Research Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan mengatakan pergerakan nilai tukar rupiah yang telah menembus kisaran Rp17.000 semakin meningkatkan potensi Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga acuannya. Hal tersebut seiring dengan upaya bank sentral dalam menjaga nilai rupiah
Baca Juga
"Hal ini akan berdampak pada peningkatan risiko kredit yang dapat menekan kinerja bisnis dan keuangan bank," jelasnya.
Ke depan, dia menilai perlu ada langkah-langkah strategis yang dapat menjaga stabilitas rupiah. Dia juga menyebut perlunya menjaga iklim bisnis dengan baik, khususnya pada sektor ekspor dengan melakukan negosiasi tarif impor.
Dia juga menyebut perlunya pemberian stimulus guna menjaga likuiditas bank tetap baik. Stimulus yang terkait likuiditas seperti kebijakan makro prudensial untuk likuiditas maupun ke depannya seperti restrukturisasi seperti saat Covid-19. "Tetapi, pemberlakuannya harus kondisional sesuai perkembangan," ujarnya.