Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah menghitung proyeksi nilai industri halal di Indonesia pada 2025 mencapai US$249 miliar. Angka tersebut merupakan 10% dari total nilai industri halal dunia sebesar US$2.597 miliar.
Wahyudin Rahman, Praktisi Manajemen Risiko dan Ketua Umum Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi) mengatakan industri asuransi syariah saat ini berada dalam posisi yang belum optimal jika dibandingkan dengan potensi besar ekosistem halal dan keuangan syariah nasional.
"Meskipun Indonesia memiliki populasi muslim terbesar di dunia dan pangsa pasar halal yang besar, pangsa pasar asuransi syariah masih di bawah 10% dari total industri asuransi nasional, baik dari sisi kontribusi bruto maupun jumlah tertanggung. Artinya, ada gap besar antara potensi dan realisasi," kata Wahyudin kepada Bisnis, dikutip Sabtu (10/5/2025).
Namun demikian, Wahyudin mengatakan ada beberapa indikator positif yang mulai terlihat, antara lain pertumbuhan kontribusi bruto asuransi syariah yang meskipun masih fluktuatif, serta rencana perluasan pasar sesuai ciri khas syariah.
Untuk mengejar gap antara realisasi dengan potensi pasar besar itu, Wahyudin mengatakan setidaknya ada lima strategi yang bisa dilakukan. Pertama, pengembangan produk yang relevan dengan gaya hidup halal, seperti mikro takaful dan asuransi hijau.
Kedua, akselerasi literasi dan edukasi kepada masyarakat, terutama terkait prinsip-prinsip tolong-menolong (ta’awun) dan bebas riba dalam asuransi syariah.
Baca Juga
Ketiga, kolaborasi dengan ekosistem industri halal, seperti pelaku UMKM halal, rumah sakit syariah, lembaga keuangan syariah, dan fintech syariah.
Keempat, digitalisasi layanan untuk menjangkau masyarakat luas, khususnya generasi muda muslim yang lebih tech-savvy.
"Terakhir, peningkatan kapasitas SDM yang kompeten dengan mengikuti berbagai pelatihan dan asesmen untuk meningkatkan tenaga ahli syariah," ujarnya.
Dalam mengejar potensi pasar yang besar, Wahyudin menilai tantangan utama yang dihadapi industri asuransi syariah antara lain adalah tingkat literasi dan inklusi asuransi syariah yang masih rendah, bahkan jauh di bawah produk keuangan syariah lain seperti perbankan.
Selain itu, keterbatasan jumlah SDM yang berpengalaman dan tersertifikasi serta skala usaha yang kecil, terutama pada perusahaan full-fledged, membuat efisiensi operasional dan daya saing terbatas.
"Persaingan ketat dengan asuransi konvensional yang memiliki penetrasi dan jaringan distribusi lebih luas juga menjadi tantangan. Terakhir, tantangan spin-off bagi unit syariah, termasuk kebutuhan permodalan dan kesiapan manajerial," pungkasnya.