Bisnis.com, JAKARTA – Industri pembiayaan nasional mencatat perlambatan signifikan per kuartal I/2025. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penyaluran pembiayaan per Maret 2025 hanya tumbuh 4,6% secara tahunan (year on year/YoY) menjadi Rp510,97 triliun. Angka ini melambat dibandingkan Januari (6,04%) dan Februari (5,92%).
Pertumbuhan per Maret ditopang pembiayaan modal kerja yang meningkat 11,07% YoY. Sementara itu, kondisi risiko masih cukup terkendali, dengan rasio Non Performing Financing (NPF) gross turun menjadi 2,71% dari 2,87% pada Februari. NPF net juga turun dari 0,92% menjadi 0,80%.
Praktisi dan pengamat industri pembiayaan Jodjana Jody menilai perlambatan ini merupakan cerminan dari pelemahan ekonomi yang sudah terlihat sejak awal tahun.
“Soal perlambatan ekonomi sebenarnya sudah clear, terlihat dari GDP [Gross Domestic Product] kuartal I yang di bawah 5% serta melemahnya PMI [Purchasing Managers’ Index] dan kredit yang melambat,” kata Jodjana kepada Bisnis, Selasa (20/5/2025).
Dia mengatakan meskipun kuartal I/2025 diwarnai banyak perayaan dan kegiatan konsumsi, tetap tidak mampu mendorong pertumbuhan secara signifikan. Ia memprediksi kondisi serupa bahkan bisa memburuk pada kuartal II/2025 karena jumlah hari libur yang lebih banyak.
Jodjana juga menyoroti lemahnya belanja pemerintah sebagai salah satu penyebab tidak bergeraknya ekonomi. Ia berharap pemerintah dapat mempercepat realisasi anggaran belanja negara pada kuartal II/2025 demi memulihkan berbagai sektor yang terdampak.
Baca Juga
“Sebenarnya pada kuartal I/2025 belanja pemerintah juga lemah dan multiplier effect-nya agak negatif. Kita berharap pada kuartal II/2025 pemerintah akan melakukan akselerasi belanja seperti yang dijanjikan. Artinya, walaupun ada pelemahan indikator, diharapkan belanja pemerintah dapat berdampak positif terhadap sektor-sektor lainnya,” paparnya.
Lebih lanjut, Jodjana menegaskan pentingnya dukungan terhadap sektor otomotif yang menjadi salah satu penyumbang besar dalam pembiayaan. Ia menyarankan pemerintah untuk mempertimbangkan relaksasi kebijakan pajak tambahan atau opsen, yang dinilai dapat mengganggu daya beli masyarakat dan melemahkan industri otomotif.
“Untuk meningkatkan konsumsi, kita berharap pemerintah akan merelaksasi penerapan opsen yang berpotensi mengganggu bisnis otomotif. Sektor ini juga menyerap banyak tenaga kerja, sehingga permintaan terhadap otomotif roda dua maupun roda empat bisa tetap meningkat. Dengan begitu, efek permintaan otomotif yang lebih positif akan berdampak pada pembiayaan yang diharapkan tumbuh lebih baik,” kata Jodjana.
Gearing ratio perusahaan pembiayaan pun masih sehat, berada di angka 2,26 kali pada Maret 2025, naik sedikit dari Februari (2,20 kali), namun tetap jauh di bawah batas maksimum OJK sebesar 10 kali