Bisnis.com, JAKARTA – Anggota Komisi IX DPR RI meminta besaran manfaat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) BPJS Ketenagakerjaan dinaikkan agar optimal memberikan perlindungan bagi pekerja yang terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK).
Seperti diketahui, pemerintah baru menaikkan tunjngan JKP melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2025. Dalam payung hukum terbaru itu, pemerintah telah menambah manfaat tunai program JKP menjadi 60% dari upah terakhir hingga Rp5 juta yang dibayarkan flat selama enam bulan.
"JKP belum cukup membantu pekerja yang baru saja kena PHK. Kalau maksimalnya cuma Rp5 juta dan dibatasi 6 bulan, ini Rp5 juta kalau hidup di Jakarta cuma cukup buat kontrakan rumah, apalagi tambah biaya sekolah anak-anak mereka," kata Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PAN, Ashabul Kahfi dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP), Selasa (20/5/2025).
Untuk itu Kahfi meminta ada peninjauan ulang skema manfaat JKP dengan mempertimbangkan kebutuhan hidup layak di masing-masing daerah. Selain manfaat yang dinilai kurang optimal, dia juga menyoroti bagaimana program BPJS Ketenagakerjaan belum bisa melindungi semua pekerja di Indonesia.
Berdasarkan data, jumlah angkatan kerja di Indonesia mencapai 215,37 juta di mana sebanyak 144,64 juta termasuk penduduk bekerja. Dari jumlah tersebut, pekerja eligible yang bisa menjadi peserta JKP mencapai 101,81 juta. Namun sayangnya, per April 2025 jumlah peserta aktif JKP BPJS Ketenagakerjaan hanya mencapai 39,7 juta.
"Itu artinya lebih dari 60 juta pekerja belum terlindungi. Saya kira ini bukan jumlah yang kecil, ini lebih dari separuh pekerja Indonesia yang belum terlindungi," ujarnya.
Baca Juga
Yang lebih memprihatinkan, lanjutnya, peserta dari kelompok pekerja informal atau Bukan Penerima Upah (BPU) hanya mencapai 8,99 juta, padahal menurutnya jumlah pekerja informal di Indonesia di atas 90 juta.
"Saya usul agar BPJS bisa mulai otomatisasi kepesertaan berbasis NIK dan sinergi lebih kuat dengan pelaku UMKM dan pekerja rentan di daerah," pungkasnya.
Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDIP Sihar Sitorus menyoroti dana iuran JKP yang masuk di BPJS Ketenagakerjaan, utamanya iuran yang dibayarkan pihak pemberi kerja. Hal ini berkaitan dengan kepatuhan pemberi kerja mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.
Pasalnya, rasio klaim JKP terus meningkat seiring dengan lonjakan PHK yang terjadi saat ini.
"Ini kan berkaitan dengan akumulasi dan yang kita kelola, dan pada saatnya PHK besar kita punya dana cukup, syukur-syukur lebih untuk diinvestasikan untuk menjalankan kelangsungan pengelolaan tersebut," kata Sihar.
Sihar meminta BPJS Ketenagakerjaan mensurvei perusahaan-perusahaan yang belum mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Meski begitu, dia memaklumi kondisi pemberi kerja ketika kondisi ekonomi lesu saat ini akan berat menanggung iuran yang harus dibayar.
"Jadi perlu ditanya perusahaan, mengapa belum sepenuhnya [mendaftarkan], kalau saya hitung BPJS Ketenagakerjaan mungkin lebih dari 10% porsi [iuran] pemberi kerja. 10% di kondisi ekonomi bagus ya oke-oke saja mungkin, tapi di kondisi tidak bagus ini jadi cost tambaham. Jadi harus ada pendalamn lebih jauh," tandasnya.