Bisnis.com, JAKARTA — Titik balik kondisi keuangan program Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN terjadi pada 2021 silam, ketika Dana Jaminan Sosial (DJS) BPJS Kesehatan berbalik dari minus menjadi positif. Risiko kembali menghantui kondisi keuangan BPJS, karena defisit DJS berpotensi kembali terjadi.
Pada 2019 dan 2020, aset neto DJS dari Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tercatat masih defisit, yakni masing-masing Rp50,99 triliun dan Rp5,68 triliun. Saat itu, ketahanan DJS Kesehatan masing-masing tercatat -5,64 bulan dan -0,71 bulan, artinya dana asuransi di BPJS masih lebih kecil dari kebutuhan klaimnya.
Kondisinya mulai berbalik pada 2021, ketika aset neto DJS Kesehatan berbalik menjadi surplus Rp38,76 triliun, ketahan DJS Kesehatan pulih menjadi 5,15 bulan. Artinya, BPJS Kesehatan memiliki cukup dana untuk membayar proyeksi klaim dalam 5,15 bulan ke depan.
Apa yang membuat kondisi itu bisa bebalik positif? Salah satu faktor utama adalah kenaikan iuran BPJS pada 2020, dan turunnya jumlah klaim selama pandemi Covid-19. Perolehan iuran yang naik dan pengeluaran klaim yang turun membuat aset DJS menjadi surplus.
Pada 22 Februari 2021 terdapat pelantikan Ali Ghufron Mukti sebagai Direktur Utama BPJS Kesehatan oleh Presiden ke-7 Indonesia Joko Widodo. Eks Wakil Menteri Kesehatan pada Kabinet Indonesia Bersatu II era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu memulai kepemimpinannya di BPJS Kesehatan dengan kondisi aset neto DJS yang surplus.
Empat tahun berselang, Ali Ghufron menghadapi bayang-bayang potensi defisit BPJS Kesehatan. Hingga April 2025, posisi aset neto DJS Kesehatan adalah Rp45,93 triliun dengan ketahanan 3,05 bulan, kondisinya menurun dari akhir 2024, ketika aset DJS Kesehatan sebesar Rp49,35 triliun dan ketahanan dananya 3,38 bulan.
Baca Juga
"Sampai 2025 ini kira-kira bagaimana DJS keadaan keuangannya, saya sampaikan sehat. Sehat itu apa, ada Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2018 [mengatur indikator] sehat itu kalau bisa membayar 1,5 bulan sampai 6 bulan, [pembayaran] klaim," kata Ghufron dalam Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR beberapa waktu lalu, dikutip pada Minggu (8/6/2025).
Ketahanan DJS Kesehatan berpotensi jadi tidak sehat. Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) BPJS Kesehatan memproyeksi pada akhir 2025 nanti aset DJS Kesehatan mengecil hanya menjadi Rp10,34 triliun sementara ketahanan DJS Kesehatan hanya menjadi 0,62 bulan.
"Kalau besok-besoknya tentu tidak cukup. Bagaimana penyelesaiannya, sudah dibicarakan tapi belum diputuskan," tegasnya.
Meski ketahanan dana mengecil, masih ada kabar baik dari BPJS Kesehatan, bahwa kehadiran program JKN bagi masyarakat Indonesia menunjukkan perbaikan. Ghufron merinci, utilisasi program JKN pada 2014 hanya 252.000 per hari atau 92,3 juta per tahun. Pada 2024, utilisasi JKN menjadi 1,9 juta per hari atau 742 juta per tahun.
Pada 2014, beban jaminan pelayanan kesehatan yang dibayarkan BPJS Kesehatan hanya Rp42,65 triliun, kemudian pada 2023 menjadi sebesar Rp158,85 triliun dan pada 2024 sebesar Rp174,90 triliun. Selama 11 tahun BPJS Kesehatan hadir, beban jaminan pelayanan kesehatan yang sudah dibayarkan mencapai Rp1.087,4 triliun.
Dari jumlah pelayanan kesehatan yang dibayar BPJS Kesehatan, sebanyak 24%—31% digunakan untuk pelayanan delapan diagnosis berbiaya katastropik. Total biaya pelayanan katastropik dalam periode 2014—2024 tidak kurang dari Rp235 triliun.
Adapun total klaim JKN yang dibayarkan BPJS Kesehatan dalam periode Januari—April 2025 sebesar Rp60,18 triliun. Angka tersebut meningkat Rp2,80 triliun atau 4,89% (year on year/YoY) dibanding Rp57,38 triliun dalam periode Januari-April 2024. Dalam empat bulan pertama 2025 ini, rata-rata pembayaran klaim sebesar Rp13 triliun hingga Rp18 triliun per bulan.
Strategi Jaga Dana BPJS Kesehatan
Kepala Humas BPJS Kesehatan Rizzky Anugerah menjabarkan secara umum ada tiga strategi utama yang dilakukan BPJS Kesehatan menjaga ketahanan DJS Kesehatan, yaitu meningkatkan penerimaan, pengendalian biaya manfaat, dan memperkuat internal kelembagaan serta kolaborasi eksternal.
Untuk meningkatkan penerimaan, langkah yang bisa dilakukan adalah melalui optimalisasi reaktivasi kepesertaan yang didukung oleh seluruh kementerian dan lembaga terkait.
"Kemudian sharing iuran yang melibatkan masyarakat, pemerintah daerah dan badan usaha [CSR]. Kemudian penerapan kebijakan iuran untuk Pekerja Penerima Upah [PPU] mikro serta otomasi pembayaran iuran bagi peserta PBPU untuk memastikan kepatuhan yang lebih baik," ujarnya kepada Bisnis, Jumat (30/5/2025).
Selanjutnya untuk strategi pengendalian biaya manfaat, hal-hal yang dilakukan BPJS Kesehatan antara lain melalui intensifikasi kebijakan pembiayaan layanan kesehatan, evaluasi dampak biaya manfaat sebelum menerapkan kebijakan baru termasuk terkait INA-CBG’s dan tarif layanan kesehatan.
Berikutnya, BPJS Kesehatan melakukan pengendalian penambahan kapasitas layanan yang berlebihan dan berpotensi moral hazard, penerapan kebijakan urun biaya, pemberlakuan tarif degresif pada Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL), serta melakukan pencegahan, deteksi dan penanganan fraud.
Sementara untuk strategi penguatan internal, Rizzky menjelaskan bahwa seluruh Duta BPJS Kesehatan diharapkan menjaga integritas dan soliditas untuk mencapai tujuan organisasi secara maksimal. Sedangkan dari sisi eksternal, BPJS Kesehatan perlu membangun kolaborasi efektif dengan berbagai pihak guna menjaga ketahanan DJS.
Sebagai contoh kolaborasi BPJS Kesehatan dengan pihak ekstrnal adalah kerjasama BPJS Kesehatan dengan perusahaan manajer investasi (MI) untuk mengembangkan produk investasi reksa dana berbasis endowment fund. Management fee atas pengelolaan produk reksa dana dari ketiga manajer investasi akan disalurkan ke program JKN dalam bentuk penyaluran Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan MI.