Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Ketua Umum Bidang Analisis Kebijakan Makro-Mikro Ekonomi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Aviliani menilai langkah Bank Indonesia (BI) membuka ruang lebih luas bagi pendanaan luar negeri melalui Rasio Pendanaan Luar Negeri (RPLN) sebagai keputusan yang tepat di tengah terbatasnya likuiditas domestik.
Meski demikian, Aviliani mengingatkan agar perbankan dan pelaku industri keuangan tetap mewaspadai potensi risiko yang muncul, khususnya terkait fluktuasi nilai tukar. “Kalau kita pinjam dari luar negeri, harus hati-hati terhadap fluktuasi nilai tukar karena volatilitasnya sekarang cukup tinggi. Jangan sampai minjemnya berapa bayarnya jadi lebih mahal bisa-bisa dibilang merugikan negara,” kata Aviliani dalam Bisnis Indonesia Midyear Challenges 2025,
Menurut dia, ketidakpastian global saat ini membuat risiko kurs semakin besar dan mendorong banyak pelaku usaha untuk kembali memilih pinjaman dalam negeri. “Buat mereka, resiko nilai tukar itu bisa menurunkan aset. Makanya banyak yang balik ke pinjaman rupiah,” ucapnya.
Peringatan ini disampaikan menyusul kebijakan BI yang mendorong pendanaan luar negeri melalui fasilitas RPLN. Gubernur BI Perry Warjiyo sebelumnya menyatakan bahwa bank tidak boleh hanya bergantung pada Dana Pihak Ketiga (DPK) dari dalam negeri.
“Kami berikan dengan RPLN agar bank-bank juga tidak hanya pendanaan dari DPK dalam negeri, tapi juga bisa cari dana di luar negeri,” ujar Perry dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Jakarta, Senin (28/7/2025).
Baca Juga
Sebagai bagian dari penguatan kebijakan, BI juga telah menaikkan batas maksimum RPLN dari sebelumnya 30% menjadi 35% dari modal bank. Ketentuan ini mulai berlaku sejak 1 Juni 2025 sebagaimana diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 12 Tahun 2025.
Aviliani menyadari bahwa pendanaan luar negeri memang memiliki keunggulan dari sisi biaya bunga yang relatif lebih rendah. Namun, ia mengingatkan bahwa risiko nilai tukar bisa menjadi tekanan besar jika tidak diantisipasi secara tepat.
“Bunganya memang murah, tapi nilai tukarnya. Itu yang bisa jadi beban besar nantinya kalau tidak dimitigasi dengan baik,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa strategi pendanaan luar negeri tetap dapat dimanfaatkan, asalkan disertai kebijakan mitigasi yang kuat, seperti lindung nilai (hedging) dan proyeksi pasar yang cermat.
“Kalau nggak hati-hati, bisa-bisa bank dan korporasi kesulitan bayar karena kurs melonjak. Jadi BI dan pelaku industri keuangan harus duduk bareng membahas strategi mitigasinya,” pungkas Aviliani.