Bisnis.com, JAKARTA – Lembaga Keuangan Mikro (LKM) diharapkan menjadi motor utama untuk meningkatkan inklusi keuangan masyarakat segmen mikro kecil yang belum terlayani lembaga keuangan formal. Ironinya, indeks inklusi LKM menjadi yang paling kecil dibandingkan sektor jasa keuangan (SJK) lainnya.
Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 menunjukkan bahwa indeks inklusi LKM hanya mencapai 1,20%, jauh tertinggal dibandingkan sektor keuangan lainnya. Sementara itu, tingkat literasi keuangan LKM pun masih rendah, yakni 9,80%.
Ketua Umum Asosiasi LKM/LKMS se-Indonesia (Aslindo) Burhan mengungkapkan rendahnya indeks tersebut disebabkan oleh lemahnya sumber daya manusia (SDM) dan belum optimalnya tata kelola. Selain itu, banyak LKM berjalan sendiri-sendiri tanpa keanggotaan dalam asosiasi.
"Mereka masih berjalan sendiri-sendiri, belum tergabung di dalam asosiasi. Ada juga faktor minimnya informasi sehingga yang terjadi pada mereka itu minimnya pengetahuan tentang bagaimana mengelola LKM dan LKMS itu agar bisa tumbuh dan bisa meningkatkan literasi dan inklusi keuangan di masing-masing wilayah," ujar Burhan kepada Bisnis, Rabu (30/7/2025).
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) turut menunjukkan kondisi yang kurang menggembirakan. Pendapatan operasional LKM konvensional per Desember 2024 terkoreksi 5,8% year on year (YoY). Bahkan, pada periode tersebut LKM konvensional mencatat rugi tahun berjalan sebesar Rp460 juta.
Burhan menyarankan agar pelaku LKM mulai bersinergi melalui asosiasi serta mendorong inovasi dari sisi pemasaran, sosialisasi program, digitalisasi layanan, hingga penggunaan jasa konsultan untuk memperbaiki tata kelola. Menurutnya, peran aktif regulator juga diperlukan.
Baca Juga
"Contohnya, regulator bisa mendorong untuk segera dilakukan uji coba sertifikasi bagi pengurus, kewajiban adanya SOP tentang Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT), strategi anti fraud, serta penyusunan modul pelatihan untuk seluruh jajaran," tuturnya.
Sementara itu, Ketua Harian Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin), Agung Sujatmiko, menilai pendekatan regulator selama ini belum menyentuh akar masalah. Menurutnya, peningkatan literasi dan inklusi LKM tidak cukup hanya melalui sosialisasi karena keterbatasan daya beli masyarakat kelas bawah.
"Ini persoalannya masih dalam tataran persoalan perut masyarakat kita di kelas bawah. Yang kedua, belum ada kesadaran untuk mengembangkan kemampuan ekonominya, karena memang mereka nggak punya sumber daya. Jadi distribusi sumber daya itu yang harus dipenuhi oleh pemerintah untuk meningkatkan mereka," kata Agung.
Agung juga menekankan pentingnya membedakan sasaran pembiayaan LKM berdasarkan kelompok ekonomi. Ia menilai bahwa masyarakat miskin lebih fokus pada kebutuhan harian dan belum menjadikan literasi atau inklusi keuangan sebagai prioritas.
"Mereka hanya berkutat dengan yang praktis, kegiatan praktis sehari-hari untuk bisa makan. Ya tidak jalan literaisnya. Inklusinya? ya ini harus kerja keras... Mereka tidak berpikir literasi, tidak berpikir inklusi, mereka berpikir, aku harus makan," pungkasnya.