Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

LKM Koperasi Simpan Pinjam Dinilai Terpinggirkan, Akses Pertanyakan Arah Kebijakan Pemerintah

Koperasi Simpan Pinjam (KSP) terpinggirkan akibat kebijakan diskriminatif pemerintah, kata Suroto. KSP kurang dukungan setara bank, menghambat pembiayaan mikro.
Ilustrasi pengrajin rotan di Sumatra Utara./Bisnis-Fahmi AB
Ilustrasi pengrajin rotan di Sumatra Utara./Bisnis-Fahmi AB

Bisnis.com, JAKARTA – Lembaga keuangan mikro (LKM) dengan bisnis koperasi simpan pinjam (KSP) dinilai masih belum mampu memainkan peran strategisnya dalam pembiayaan sektor mikro dan kecil secara optimal. Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Suroto menyebut bahwa penyebab utamanya bukan sekadar persoalan internal, melainkan kebijakan pemerintah yang dirasa diskriminatif.

"Lembaga keuangan mikro (LKM) seperti koperasi simpan pinjam (KSP) sebenarnya memiliki peran vital dalam pembiayaan kelas mikro kecil namun posisi strategisnya tersebut tidak optimal justru disebabkan karena kebijakan yang dirasa diskriminatif," kata Suroto kepada Bisnis, Rabu (30/7/2025).

Suroto menegaskan bahwa banyak KSP memang belum memiliki manajemen yang akuntabel dan efisien. Namun, ia menilai kondisi tersebut dipicu oleh minimnya dukungan kebijakan yang setara dengan perbankan.

"Tapi hal ini terjadi karena sebetulnya pemerintah sendiri selama ini banyak melakukan kebijakan diskriminatif terhadap KSP. KSP ini tidak diberikan dukungan penjaminan simpanan seperti yang diberikan pada bank umum, tidak diberikan subsidi bunga dan subsidi imbal jasa penjaminan seperti dalam kredit program yang diberikan pemetintah ke bank umum," ujarnya.

Suroto, yang juga menjabat CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR), menambahkan bahwa KSP tidak mendapat akses fasilitas pendukung seperti penyertaan modal, dana penempatan, penghapusan kredit macet, hingga bailout likuiditas seperti yang tersedia bagi bank.

"Dari kebijakan diskriminatif tersebut sebetulnya yang membuat lembaga keuangan mikro basis koperasi simpan pinjam itu akhirnya kehilangan daya saing dan juga kelemahan manajemen lainya," tegasnya.

Akibat tidak adanya perlindungan seperti dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), biaya dana (cost of fund) KSP menjadi tinggi. Selain itu, tidak adanya subsidi bunga dalam skema kredit program membuat KSP sulit bersaing dengan bank umum dalam menyalurkan pembiayaan mikro.

Ketiadaan bailout saat krisis juga membuat sejumlah KSP kolaps ketika menghadapi tekanan likuiditas.

"Sebetulnya yang menciptakan KSP kita itu lemah itu pemerintah sendiri. Dikarenakan pemerintah berikan banyak privilege kebijakan yang memperkuat bank umum dan tidak pada KSP," kata Suroto.

Padahal, lanjutnya, KSP justru memiliki keunggulan dalam menjangkau masyarakat kelas bawah, khususnya segmen ultra mikro yang belum banyak disentuh oleh bank umum. Jika mendapatkan dukungan kebijakan yang memadai, Suroto yakin KSP bisa menyalurkan pembiayaan secara lebih efisien dan tepat sasaran.

"Ini terbukti di luar negeri di mana KSP atau Credit Union (CU) itu mampu mengungguli bank umum dalam banyak hal, dari tingkat risiko, biaya modal, dan sebagainya," tambahnya.

Suroto juga menyoroti kebijakan lain seperti program Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih) yang dinilai menunjukkan inkonsistensi pemerintah dalam memosisikan koperasi. Dalam program tersebut, menurutnya, pemerintah terlalu dominan dalam menentukan model bisnis koperasi, yang seharusnya otonom dan berbasis anggota.

Ia menjelaskan, di Indonesia terdapat istilah KSP, Kopdit, maupun Credit Union (CU), namun secara hukum seluruhnya dikategorikan sebagai KSP. Berdasarkan UU Lembaga Keuangan Mikro dan UU P2SK, koperasi masuk dalam kategori Lembaga Jasa Keuangan lainnya. Koperasi yang hanya melayani anggota (close loop) tidak diawasi OJK, sementara yang melayani non anggota (open loop) masuk dalam pengawasan otoritas.

"Di berbagai belahan dunia, model kelembagaan koperasi yang dimiliki dan dikontrol oleh anggota-nasabahnya ini telah terbukti memberikan peranan signifikan untuk memberikan akses keuangan bagi masyarakat kecil secara tepat. Bahkan, ketika krisis keuangan di Amerika Serikat tahun 2008 misalnya, mereka justru mampu melakukan double lending ketika bank semua menjadi semakin prudent," pungkasnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro