Bisnis.com, JAKARTA – Dewan Koperasi Indonesia mencatat lembaga keuangan mikro (LKM) memiliki kendala teknis dalam penyediaan dana murah.
Seperti diketahui LKM dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan badan hukumnya, yaitu LKM berbadan hukum PT dan LKM berbadan hukum koperasi. Keduanya punya kesamaan, yaitu sama-sama sedang menorehkan kinerja negatif, baik dari sisi perolehan laba operasional maupun laba bersih.
Ketua Harian Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) Agung Sujatmiko menjabarkan sumber modal LKM berbasis koperasi berasal dari simpanan anggota koperasi. Sedangkan LKM yang berbadan hukum PT, sumber modalnya berasal dari penyertaan modal yang dilakukan pemilik LKM.
"Kalau kondisi kapitalnya jelek atau tidak kuat, yang berbandan hukum PT ketika terjadi NPL [kredit macet tinggi], maka pemegang saham harus menambah lagi. Kalau tidak punya, ya sudah stagnan di situ, bahkan akan dicabut [izin usahanya]. Sedangkan yang koperasi, itu biasanya lebih banyak [penyaluran] pinjamnya daripada simpannya. Ini jadi masalah," kata Agung kepada Bisnis, Rabu (30/7/2025).
Masalah kedua menurutnya adalah tata kelola LKM yang kurang baik. Khususnya LKM yang berbadan hukum koperasi, Dakopin mencatat anggota yang dilayani jumlahnya kurang ideal. Dari riest Dekopin, sebuah LKM berbadan hukum koperasi akan dikategorikan sehat jika melayani 4.000 anggota aktif. Bahkan agar LKM koperasi bisa beroperasi normal, setidaknya butuh 2.500 anggota aktif yang melakukan simpan pinjam.
Masalah kedua adalah kondisi ekonomi. Menurutnya, permintaan layanan pembiayaan simpan pinjam LKM koperasi turun disebabkan juga oleh kondisi ekonomi yang menggerus daya beli.
Baca Juga
"Jadi kondisi ekonomi dan kemampuan daya beli masyarakat ini juga menjadi masalah di industri LKM," tegasnya.
Terakhir, masalah keempat adalah komitmen pemerintah dan regulasi yang mengatur LKM. Menurutnya, pasar yang disasar LKM ini masih tumpang tindih dengan program-program penyaluran kredit mikro dari bank-bank himbara maupun melaui Badan Layanan Umum (BLU) Kementerian Keuangan seperti Pusat Investasi Pemerintah (PIP) atau program Mekaar dari perusahaan BUMN, PT Permodalan Nasional Madani (PNM).
"Pemerintah punya [kemampuan] dengan dana yang besar. Misal program Mekaar itu harus seluruh Indonesia. Kemudian koperasi juga punya [produk simpan pinjam dengan sasaran yang sama], tapi jauh dibandingkan dengan Mekaar. Lalu lembaga keuangan mikro juga masih jauh dibandingkan koperasi dan Mekaar. Ini jadi pertarungan-pertarungan bebas. Ini juga tidak sehat," pungkasnya.