Bisnis.com, JAKARTA -- Besaran porsi kredit produktif kelompok Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang diatur dalam BPD Regional Champion (BRC) Jilid I akan ditinjau kembali dalam BRC Jilid II yang diharapkan dapat diluncurkan dalam waktu dekat.
Dalam program BRC Jilid I yang dicanangkan mulai 21 Desember 2010 itu, BPD ditargetkan bisa menyalurkan kredit produktif minimal 40% dari total kredit yang disalurkan, sedangkan 60% sisanya berupa kredit konsumtif.
Ketua Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) Eko Budiwiyono mengatakan porsi kredit BPD akan dikaji kembali dengan tujuan supaya BPD tidak terlalu mengejar kredit produktif, sementara kompetensi BPD untuk menyalurkan kredit produktif belum cukup baik.
"Sehingga rasio kredit bermasalahnya menjadi tinggi kalau tidak diimbangi dengan kompetensi yang memadai," ujarnya kepada Bisnis.com, Minggu (19/4/2015).
Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) setelah program BRC tahap pertama diluncurkan, kredit produktif BPD mengalami peningkatan. Pada 2011, kredit yang disalurkan ke sektor produktif mencapai Rp56,27 triliun dan meningkat menjadi Rp62,61 pada 2012.
Setahun setelahnya, meningkat cukup pesat sebesar 42,05% menjadi senilai Rp88,94 triliun dan sepanjang akhir tahun lalu menjadi Rp95,63 triliun.
Namun, peningkatan nilai kredit yang disalurkan ke sektor produktif ini dibarengi dengan rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) yang juga meningkat cukup besar.
Pada 2011, nominal NPL kredit produktif BPD mencapai Rp2,44 triliun dan naik 77,04% menjadi Rp4,32 triliun. Adapun, pada 2013 mencapai Rp6,50 triliun dan kembali naik sebesar 38,15% pada tahun lalu atau senilai Rp8,98 triliun.
Eko mengakui kelompok bank yang dipimpinnya memang lebih banyak menyalurkan kredit multiguna kepada para pegawai negeri sipil (PNS). Dirinya juga mengungkapkan sepanjang tahun lalu kelompok bank yang dipimpinnya mengalami tekanan cukup dalam akibat suku bunga tinggi dan peningkatan kredit bermasalah yang mempengaruhi perolehan laba.