Bisnis.com, JAKARTA - Utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terus membengkak, kini menembus Rp5.271 Triliun, akibat salah kelola dan campur tangan kekuasaan.
Untuk menghindari BUMN kolaps akibat beban utang yang sudah melebihi kemampuan membayar, perlu ada koreksi total pengelolaan BUMN.
Said Didu, mantan Sekretaris Meneg BUMN 2004-2012, mengatakan hal itu dalam Diskusi Publik bertemakan "Selamatkan BUMN sebagai Benteng Ekonomi Nasional", Rabu (12/11/2018).
"BUMN itu milik negara, bukan badan milik penguasa. Seperti halnya Tentara Nasional Indonesia, bukan Tentara Penguasa Indonesia. Ini harus kita klirkan," katanya.
Dia menunjuk contoh penugasan pemerintah terhadap BUMN, yang membuat BUMN merugi.
PT Pertamina (Persero) yang harus menanggung beban akibat menjual BBM premium di bawah harga keekonomian. Pertamina pun harus menanggung nilai selisih dari harga keekonomisan.
PT PLN (Persero) yang juga terbebani keputusan pemerintah yang tidak memperbolehkan PLN menaikan tarif dasar listrik hingga tahun 2019.
Sementara di pihak lain, harga BBM dan batu bara naik. Keuangan perseroan akhirnya menanggung beban berat.
Walaupun belakangan pemerintah menetapkan DMO batub bara.
“Apabila ada penugasan kepada BUMN tidak ekonomis, pemerintah harusnya mengganti (dengan APBN). Nyatanya tidak, kerugian itu ditanggung oleh BUMN,” ungkapnya.
Dia mengingatkan apabila BUMN sudah mendapat intervensi untuk kepentingan politik, maka kehancuran perusahaan plat merah tinggal menunggu waktu.
"Seperti yang terjadi saat ini, sebagian BUMN sudah terlilit utang besar".
Said mengemukakan berdasarkan data Kementerian BUMN saat rapat dengan Komisi VI DPR pada 3 Desember lalu, hingga akhir September 2018, total utang BUMN Indonesia mencapai Rp 5.271 Triliun.
Dari jumlah tersebut, sebesar Rp 3.311 triliun disumbang dari BUMN sektor keuangan, dengan komponen terbesarnya berupa dana pihak ketiga (DPK) perbankan yang mencapai 74% dari total utang.