Bisnis.com, JAKARTA-- Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) menyatakan perusahaan leasing atau multifinance tetap bisa menarik kendaraan dari debitur macet tanpa harus melalui pengadilan.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam keputusannya pada 6 Januari 2020 lalu mewajibkan eksekusi objek jaminan fidusia yang tidak diserahkan sukarela oleh debitur mesti mengikuti prosedur eksekusi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Ketua Umum APPI Suwandi Wiratno menyatakan putusan MK tersebut justru mempertegas pasal 15 UU No.42/1999 tentang wanprestasi atau cedera janji antara debitur dengan kreditur.
"Jadi leasing masih tetap bisa menarik kendaraan dari debitur macet yang sebelumnya telah diperingatkan. Dengan catatan prosedur dijalankan," ujar Suwandi di Jakarta, Senin (10/2/2020).
Fidusia, menurut UU No. 42/1999 tentang Jaminan Fidusia, adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Pemilik benda bertindak sebagai pemberi fidusia (debitur), sementara penerima fidusia (kreditur) adalah pihak yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan fidusia.
Sertifikat jaminan fidusia—yang berisi identitas pemberi dan penerima fidusia, uraian benda, nilai penjaminan, hingga nilai benda—mencantumkan kalimat ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’ seperti bunyi putusan pengadilan.
Awalnya, Pasal 15 ayat (2) UU No. 42/1999 tentang Fidusia mengatur bahwa sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Selanjutnya, Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 menyatakan penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri apabila debitur cidera janji.
Hakim Konstitusi Suhartoyo menjelaskan bahwa materi dalam Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 memiliki persoalan konstitusionalitas. Pasalnya, posisi debitur yang keberatan menyerahkan objek jaminan fidusia lebih lemah karena kreditur dapat mengeksekusinya tanpa mekanisme eksekusi pengadilan.
“Tindakan sepihak berpotensi menimbulkan tindakan sewenang-wenang dan kurang manusiawi baik fisik maupun psikis terhadap debitor yang acapkali mengesampingkan hak-hak pemberi fidusia,” katanya saat membacakan pertimbangan Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 di Jakarta, Senin (6/1/2020).