Bisnis.com, JAKARTA — Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyebutkan dirinya terus berkoordinasi dengan otoritas fiskal, yakni Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam pengelolaan moneter.
Perry menyampaikan hal tersebut saat Rapat Kerja (Raker) Komisi XI, Rabu (20/11/2024), yang membahas Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) 2025.
Di mana persertujuan DPR atas anggaran tersebut, akan berdampak signifikan terhadap langkah moneter yang akan bank sentral ambil. Termasuk di dalam anggaran tersebut, terdapat implikasi dari hasil skema berbagi beban alias burden sharing berupa utang jatuh tempo pemerintah kepada BI.
“Kemarin di dalam pembahasan dengan Ibu Menteri Keuangan juga Komisi XI menanyakan bagaimana kelanjutan dari burden sharing? Tahun depan bagaimana? Utang yang jatuh tempo bagaimana? Salah satunya adalah kepada BI,” ujarnya dalam Rapat Kerja Komisi XI, Rabu (20/11/2024).
Pada dasarnya, Komisi XI DPR hanya memberikan persetujuan kepada anggaran operasional BI seperti untuk gaji dan pengelolaan aset valas. Sementara terkait anggaran kebijakan untuk melakukan operasi moneter, BI tidak perlu mendapatkan persetujuan dari wakil rakyat tersebut.
Untuk itu, bila ATBI 2025 belum disetujui DPR, langkah BI akan terhambat dalam melakukan operasi moneter dan koordinasi dengan Kemenkeu terkait Surat Berharga Negara (SBN).
Baca Juga
“Kenapa persetujuan ini sangat penting karena dua-duanya [operasional dan kebijakan] itu berkaitan. Anggaran kebijakan penerimaan banyak yang berkaitan dengan pengeluaran kami termasuk mengenai SBN termasuk yang dari burden sharing. Sangat penting persetujuan dari Komisi XI untuk anggaran operasional supaya anggaran kebijakannya juga bisa bergerak,” tutur Perry.
Dalam rapat yang berlangsung sejak sore hingga hampir pukul 20.00 WIB tersebut, pada akhirnya Komisi XI menyetujui ATBI 2025 berupa penerimaan operasional senilai Rp31,5 triliun dan pengeluaran operasional sejumlah Rp26,66 triliun.
Meski anggaran operasional mengalami surplus yang cukup besar, Perry menegaskan bahwa keuntungan tersebut diperlukan agar anggaran kebijakan—yang tidak memerlukan persetujuan DPR—dapat dilakukan secara efisien.
Adapun, sebagai dampak dari kebijakan burden sharing kala pandemi Covid-19, BI melakukan pembelian SBN di pasar primer untuk membantu pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Alhasil, penerbitan utang kepada BI senilai Rp836,56 triliun tersebut akan jatuh tempo secara bertahap, mulai 2025.
Total jatuh tempo utang tersebut mulai pada 2025 (Rp100 triliun), 2026 (Rp154,5 triliun), 2027 (Rp210,5 triliun), 2028 (Rp208,06 triliun), 2029 (Rp107,5 triliun), dan 2030 (Rp56 triliun).
Sementara dalam profil utang pemerintah, terdapat jatuh tempo senilai Rp800,33 triliun pada 2025. Termasuk di dalamnya jatuh tempo kepada Bank Indonesia dalam rangka burden sharing senilai Rp100 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani optimistis pemerintah akan melunaskan utang yang ada dengan penerbitan utang baru alias refinancing. Meski demikian, terkait waktu penerbitan, denominasi, maupun jenis Surat Berharga Negara (SBN), masih pemerintah ramu.