Bisnis.com, JAKARTA – PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BRIS) memproyeksikan laju pertumbuhan perbankan syariah mampu mengungguli industri perbankan nasional pada tahun depan, baik dari segi penyaluran pembiayaan maupun penghimpunan dana pihak ketiga (DPK).
Direktur Treasury & International Banking BSI Ari Rizaldi menyampaikan bahwa di tengah tantangan ekonomi global, perekonomian dalam negeri masih mampu bertumbuh positif. Lebih lagi, BSI dinilai memiliki keunikan dari segi model bisnis.
"Salah satu peluang terbesar BSI ada di bisnis halal, ini yang perlu ditingkatkan dan diperdalam sebagai bentuk peran aktif dan positif BSI untuk pertumbuhan ekonomi di domestik dan bahkan global," katanya dalam paparan Sharia Economic Outlook 2025 di Jakarta, Senin (23/12/2024).
Lebih lanjut, Chief Economist BSI Banjaran Surya Indrastomo memerinci bahwa sektor keuangan syariah nasional diprakirakan tumbuh ke kisaran Rp3.157,9 triliun–Rp3.430,9 triliun dari sisi aset.
Jumlah ini lebih tinggi dari realisasi aset keuangan syariah pada September 2024 yang berada pada level Rp2.744 triliun, dengan laju pertumbuhan naik 11,9% secara tahunan (year on year/YoY).
Dia menilai bahwa industri halal dapat menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru yang mendorong pendapatan pajak dan penerimaan zakat, sehingga dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.
Menurut Banjaran, strategi pemanfaatan ekonomi syariah untuk pembangunan ekonomi 5 tahun mendatang dapat didorong dari pengembangan di sektor pariwisata, akselerasi produksi produk industri halal seperti makanan dan minuman serta farmasi dan kosmetik halal, serta pengembangan sektor keuangan sosial syariah Ziswaf untuk mengatasi masalah kemiskinan.
“Strategi ekonomi syariah melalui penciptaan sumber pertumbuhan baru tersebut diharapkan dapat mendorong pertumbuhan tax base dan zakat base, yang pada akhirnya dapat mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih inklusif,” tuturnya.
Sementara itu, gejolak perekonomian global tahun depan diproyeksikan akan terpengaruh arah kebijakan ekonomi Amerika Serikat (AS) hingga ketegangan geopolitik terutama di Timur Tengah.
Kenaikan tarif impor oleh AS terhadap beberapa negara yang memiliki surplus perdagangan tinggi dengan AS, termasuk China, dinilai berpotensi meningkatkan fragmentasi perdagangan global.
“Ke depan, China, sebagai salah satu negara yang berpotensi dikenai kenaikan tarif impor berpotensi merelokasi ekspornya ke negara lain yang belum dikenai kenaikan tarif, seperti Vietnam,” pungkas Banjaran.