Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah dan Bank Indonesia menyepakati utang burden sharing sebesar Rp100 triliun yang jatuh tempo pada 2025 dibayar melalui mekanisme debt switching, yakni mengonversi utang jangka pendek menjadi utang jangka panjang.
Burden sharing sendiri merupakan kebijakan yang diambil akibat pandemi Covid-19. Lewat kebijakan tersebut, Bank Indonesia (BI) diperbolehkan membeli surat berharga negara (SBN) yang diterbitkan pemerintah di pasar perdana untuk menstabilkan sistem keuangan.
Menurut catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam hasil Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2021, terdapat SBN seri variable rate yang khusus dijual kepada BI di pasar perdana dengan total nilai sebesar Rp612,56 triliun.
Utang pemerintah ke BI tersebut akan jatuh tempo pada 2025 senilai Rp100 triliun, lalu pada 2026 senilai Rp154,5 triliun, pada 2027 senilai Rp154,5 triliun, pada 2028 senilai Rp152,06 triliun, dan pada 2029 senilai Rp51,5 triliun.
Untuk membahas utang jatuh tempo Rp100 triliun pada tahun depan itu, pemerintah dan BI melakukan koordinasi pada hari ini, Jumat (27/12/2024). Hasilnya, disepakati BI akan melakukan pembelian SBN dari pasar sekunder pada 2025.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso menjelaskan pembelian itu akan dilakukan melalui mekanisme pertukaran SBN secara bilateral (bilateral debt switch) dengan pemerintah yang dilakukan atas burden sharing yang jatuh tempo pada 2025.
"Mekanisme debt switch tersebut dilakukan dengan pertukaran antara SBN yang jatuh tempo dan SBN reguler, yang dapat diperdagangkan di pasar [tradeable] dengan menggunakan harga pasar yang berlaku sesuai mekanisme pasar," ujarnya dalam keterangannya, Jumat (27/12/2024).
SBN penggantinya, sambung Ramdan, adalah SBN dengan tenor yang lebih panjang sesuai dengan kebutuhan operasi moneter BI dan kesinambungan fiskal pemerintah. Hanya saja, dia tidak menjelaskan lebih lebih lanjut detail SBN pengganti tersebut.
Ramdan mengaku BI dan Kementerian Keuangan sudah berkomitmen agar penerbitan dan pembelian SBN dilakukan secara transparan, akuntabel, sesuai mekanisme pasar, dan dengan tata kelola yang kuat.
"Pelaksanaan lebih lanjut dikoordinasikan dari waktu ke waktu sebagaimana yang selama ini telah berjalan secara erat, dengan mempertimbangkan dinamika perkembangan ekonomi dan pasar keuangan baik domestik maupun global," ujarnya.
Sebagai informasi, ruang fiskal pemerintah pada APBN 2025 memang sempit. Selain ke BI, Kemenkeu mencatat profil utang jatuh tempo pemerintah pada 2025 mencapai Rp800,33 triliun.
Jumlah tersebut terdiri dari jatuh tempo SBN sejumlah Rp705,5 triliun dan jatuh tempo pinjaman senilai Rp94,83 triliun.
Untuk pembayaran bunga utang pada 2025 direncanakan senilai Rp552,9 triliun. Alhasil, Pemerintahan Prabowo perlu menyiapkan uang dari kas negara sekitar Rp1.353,23 triliun untuk membayar utang pokok dan bunga utang.
Di sisi lain, APBN 2025 telah menetapkan belanja negara senilai Rp3.621,3 triliun. Dengan skema ini, hanya Rp2.268,07 triliun yang dapat dibelanjakan karena sisanya digunakan untuk membayar utang.
Sebelumnya, Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede melihat mekanisme debt switching memang pilihan paling masuk akal untuk membayar utang burden sharing pemerintah ke BI.
Menurutnya, jika pemerintah memilih debt switching maka memungkinkan untuk mengelola risiko jatuh tempo utang dengan memperpanjang waktu pembayaran sehingga tidak ada tekanan fiskal yang langsung dan besar pada satu periode.
“Namun, bisa jadi ada peningkatan beban bunga jangka panjang, terutama jika penerbitan obligasi baru memiliki tingkat bunga yang lebih tinggi,” ujarnya, Minggu (27/10/2024).