Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI) saat ini sedang berkoordinasi dengan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) untuk mengkaji implementasi bunga pinjaman online (pinjol) atau fintech P2P lending syariah. Saat ini, kebijakan bunga pinjaman online tidak dibedakan dengan yang konvensional.
Ketua Umum AFSI Ronald Yusuf Wijaya mengatakan penyesuaian ketentuan bunga pinjaman P2P lending syariah itu perlu dilakukan agar tetap memenuhi syarat di dalam prinsip syariah.
"Di OJK ada dua model bunga, konsumtif dan produktif. Problemnya di akad syariah, beberapa akad itu tidak bisa memakai pendekatan tersebut. Contoh akad musyarakah, itu kan bagi hasil. Kalau memang bisnisnya margin-nya besar, bagi hasilnya harusnya boleh lebih tinggi kan," kata Ronald kepada Bisnis saat ditemui di kompleks DPR RI, Jakarta, Rabu (12/3/2025).
Adapun bunga pinjaman online yang berlaku saat ini dibedakan antara pinjaman produktif dan konsumtif. OJK telah menetapkan mulai 1 Januari 2025 bunga pinjaman konsumtif tenor sampai dengan enam bulan sebesar 0,3% per hari, dan tenor lebih dari enam bulan 0,2% per hari.
Sementara itu, untuk pinjaman produktif usaha mikro dan ultra mikro tenor sampai dengan enam bulan sebesar 0,275%, dan untuk tenor lebih dari enam bulan sebesar 0,1%. Kemudian, untuk pinjaman produktif kelas kecil dan menengah baik tenor sampai dengan enam bulan maupun lebih sebesar 0,1%.
Ketentuan bunga tersebut tidak dibedakan antara pinjaman P2P lending konvensional dan syariah.
Baca Juga
"Contoh lagi, misalnya proyek itu target 3 bulan dengan return on investment (ROI) tertentu, ternyata dibayar di awal otomatis langsung melanggar manfaat ekonomi [bunga]. Padahal kalau itu syariah, kalau itu sudah dibayar harus berbagi hasil. Pendekatan ini yang saya pikir perlu dikaji ulang," ujarnya.
Atas pertimbangan tersebut, Ronald mengatakan saat ini pihaknya berdiskusi dengan DSN MUI, apakah MUI perlu meminta OJK mengubah ketentuan bunga tersebut.
"DSN MUI apakah ini bisa dibantu didorong ke regulator. Regulator kan buat kebijakan dengan berbagai pertimbangan, namun ada masukan dari DSN MUI mungkin akan membantu mereka melakukan perubahan terutama untuk fintech syariah," kata Ronald.
Lantas, bagaimana hukum pinjaman P2P lending syariah saat ini?
Pada 2018, MUI telah mengeluarkan Fatwa DSN Nomor 117/DSN-MUI/II/2018 tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi berdasarkan Prinsip Syariah.
Dalam poin keenam tentang ketentuan mekanisme dan akad pembiayaan anjak piutang, memuat ketentuan yang berbunyi: "Dalam hal calon pemberi jasa dan/atau pembiayaan [lender] menyetujui penawaran sebagaimana huruf c [penawaran penyelenggara P2P lending], dilakukan akad wakalah bi al-ujrah antara Pemberi Pembiayaan [lender] dengan Penyelenggara [P2P lending]. Pemberi Pembiayaan sebagai muwakkil dan Penyelenggara sebagai wakil."
Ketentuan itu juga berlaku antara hubungan penyelenggara P2P lending dengan borrower. Dalam fatwa tersebut dijelaskan, penyelenggara melakukan akad wakalah bi al-ujrah dengan penerima pembiayaan untuk penagihan utang. Dalam hal ini, penyelenggara P2P lending sebagai wakil dan borrower sebagai muwakkil.
Akad wakalah bi al-ujrah adalah akad wakalah yang disertai dengan imbalan berupa ujrah (fee). Penerima pembiayaan membayar ujrah kepada penyelenggara, dan penyelenggara wajib menyerahkan ujrah dan qardh (jika ada) kepada pemberi pembiayaan.
Dalam pedoman umum yang tertuang dalam fatwa tersebut, penyelenggara boleh mengenakan biaya (ujrah/rusum) berdasarkan prinsip ijarah atas penyediaan sistem dan sarana prasarana Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi.
Dengan dasar tersebut, Ronald menilai hukum syariat untuk praktik pinjaman P2P lending syariah di Indonesia sudah memiliki landasan hukum dari MUI. Justru, asosiasi ingin klasifikasi antara P2P lending syariah dengan konvensional dapat diperjelas. Ronald mencontohkan kasus lainnya pada aset digital seperti kripto.
"Enggak [haram]. Justru kami sedang urus. Ini kan aset digital kripto marak dibawa ke OJK. Kami kemarin ke DSN MUI, kira-kira memungkinkan mendapatkan fatwa aset kripto yang dikategorikan tidak haram. Aset digital kan tidak semua haram, tapi juga tidak semua halal. Jadi pendekatan kita klasifikasi," pungkasnya.