Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PEBS FEB UI: Ketatnya Regulasi Asuransi Persulit Aksesi RI ke OECD

Batasan kepemilikan asing di perusahaan asuransi syariah Indonesia dinilai sebagai salah satu contoh restriksi regulasi, menjadi tantangan dalam aksesi OECD.
Pegawai beraktivitas di dekat logo-logo perusahaan asuransi syariah yang berada di kantor Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) di Jakarta. / Bisnis-Himawan L Nugraha
Pegawai beraktivitas di dekat logo-logo perusahaan asuransi syariah yang berada di kantor Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) di Jakarta. / Bisnis-Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA — Regulasi asuransi yang ketat menjadi sorotan di tengah upaya pemerintah melakukan aksesi ke Organisation for Economic Co-operation and Development alias OECD.

Kepala Pusat Ekonomi & Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (PEBS FEB UI) Rahmatina Awaliah Kasri menjelaskan keketatan pasar masih menjadi salah satu faktor utama penghalang aksesi Indonesia ke OECD.

Dia mencontohkan asuransi menjadi salah satu sektor dengan tingkat restriksi perdagangan biasa tertinggi di Indonesia.

"Regulasi di sektor asuransi [di Indonesia] masih lebih ketat dibandingkan dengan negara lainnya," jelas Rahmatina dalam acara Launching Policy Brief PEBS FEB UI di Jakarta Pusat, Senin (17/3/2025).

Dia mencontohkan aturan yang menjadi restriksi adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14/2018 yang mengatur kepemilikan asing di perusahaan asuransi syariah di Indonesia adalah 80%.

Rahmatina mengungkapkan regulasi tersebut sangat berpotensi membatasi masuknya investor asing ke asuransi syariah. Alhasil, laporan Service Trade Restrictiveness Index dari OECD menunjukkan sektor asuransi Indonesia hanya memiliki skor 0,53 atau salah satu yang paling restriktif di dunia.

Oleh sebab itu, sambungnya, pentingnya penguatan sektor asuransi terutama asuransi syariah. Rahmatina menjelaskan PEBS FEB UI merekomendasikan lima kebijakan.

Pertama, penguatan investasi dan industri asuransi syariah. Kedua, penguatan kapasitas pemodalan perusahaan asuransi syariah.

Ketiga, peninjauan kembali regulasi yang berlaku di industri asuransi syariah. Keempat, penguatan SDM industri asuransi syariah. Kelima, peningkatan ketentukan pasar dan daya tarif investasi syariah.

"Kami berharap mudah-mudahan ini bisa menjadi masukan dan juga seluruh stakeholder ekonomi syariah bisa berkolaborasi untuk memperkuat ekonomi syariah di Indonesia," ujarnya.

Sementara itu, Guru Besar FEB UI Telisa Aulia Falianty meyakini banyak manfaat yang bisa didapatkan Indonesia apabila bisa menjadi anggota OECD. Dengan bergabung OECD, Indonesia akan terbiasa menerapkan praktik internasional yang memiliki standar tinggi.

Meski demikian, Telisa melihat pemerintah masih punya pekerjaan rumah (PR) yang besar sebelum bisa menghadapi standar OECD. Dia mencontohkan, negara-negara OECD susah mengembangkan kerangka regulasi yang mendukung transparan dan stabilitas sektor keuangan syariah.

"Jadi dengan aksesi ke OECD ya, mudah-mudahan tata kelola kita jadi lebih baik karena sekarang banyak sekali ya isu tata kelola," jelas Telisa pada kesempatan yang sama.

Percepat Aksesi ke OECD

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan pemerintah Indonesia siap mengirim Initial Memorandum aksesi ke OECD pada Juni 2025.

Airlangga sendiri melakukan kunjungan kerja ke Paris, Prancis untuk mempercepat aksesi Indonesia menjadi anggota penuh OECD selama 3—5 Maret 2025.

Dia menyatakan saat ini pemerintah memprioritaskan peningkatan daya saing, produktivitas, dan investasi untuk menciptakan lapangan pekerjaan.

Menurutnya, bergabungnya Indonesia di OECD akan mendukung pencapaian berbagai prioritas tersebut. Alasannya, Indonesia harus melakukan transformasi struktural sebelum bisa diterima ke OECD seperti memperluas akses pasar, permodalan, keterampilan, dan teknologi.

“Indonesia akan mempercepat penyelarasan seluruh substansi instrumen OECD," ungkap Airlangga dalam keterangannya, Rabu (5/3/2025).

Politisi Partai Golkar itu mengungkapkan pemerintah menargetkan proses aksesi OECD selesai dalam jangka waktu tiga sampai empat tahun ke depan.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper