Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah bank membeberkan strategi untuk menjaga likuiditas valas dalam menghadapi pelemahan Rupiah. Pada perdagangan hari ini, Selasa (8/4/2025), nilai tukar rupiah turun 69,5 poin ke level Rp16.891 per dolar AS.
Corporate Secretary PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) M. Ashidiq Iswara mengatakan bahwa perseroan memiliki berbagai macam alternatif untuk melakukan pendanaan baik melalui strategi penghimpunan Dana Pihak Ketiga alias DPK Valas.
Selain itu juga bisa melalui pendanaan non-DPK atau wholesale funding melalui transaksi bersifat bilateral, club deal, ataupun penerbitan surat utang. Club deal merupakan merupakan salah satu bentuk pembiayaan kredit sindikasi yakni pembiayaan yang melibatkan lebih dari satu bank sebagai kreditur.
Dia memandang dengan strategi pengelolaan likuiditas valas yang prudent, fleksibel, serta didukung oleh diversifikasi sumber dana yang solid, Bank Mandiri tetap berada dalam posisi yang kuat untuk menjaga kestabilan dan kecukupan likuiditas secara berkelanjutan.
"Terbaru, kami baru saja menerbitkan Euro Medium Term Note [EMTN] senilai US$800 juta pada 24 Maret 2025 dengan proceed yang digunakan untuk pengembangan bisnis perseroan," kata Ashidiq kepada Bisnis, Selasa (8/4/2025).
Euro Medium Term Note (EMTN) merupakan instrumen utang fleksibel yang diterbitkan oleh perusahaan, lembaga keuangan, atau pemerintah di pasar Eropa, dengan jatuh tempo antara satu sampai dengan sepuluh tahun.
Baca Juga
Selain itu, Ashidiq membeberkan penyaluran kredit valas Bank Mandiri mencatatkan pertumbuhan 10,12% per Desember 2025 secara (year on year/YoY) satau secara tahunan.
"Pertumbuhan ini sejalan dengan komitmen kami dalam mendukung pembiayaan nasabah global, khususnya pelaku usaha yang membutuhkan eksposur dalam mata uang asing," tuturnya.
Adapun Dana Pihak Ketiga (DPK) valas Bank Mandiri juga mencatatkan pertumbuhan sebesar 5,92% (YoY).
"Transaksi terbanyak masih berasal dari aktivitas trade finance dan treasury, yang menjadi kebutuhan utama nasabah korporasi dengan jaringan internasional," sebutnya.
Sementara itu, PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) mengelola risiko terkait eksposur valuta asing dengan menjaga rasio Posisi Devisa Neto (PDN) secara konservatif.
Menurut data BCA pada Desember 2024, PDN BCA tercatat sebesar 0,3%, jauh di bawah batas maksimum sebesar 20% yang diterapkan oleh regulator. Posisi Devisa Neto (PDN) adalah rasio perbandingan selisih bersih antara aktiva dan pasiva valuta asing.
EVP Corporate Communication & Social Responsibility BCA Hera F. Haryn mengatakan telah mempersiapkan berbagai langkah untuk mengantisipasi risiko pasar atas transaksi yang terkait dengan risiko nilai tukar dan suku bunga.
"Termasuk dengan melakukan penetapan dan kontrol limit risiko pasar, BCA juga konsisten melakukan stress test dalam mengukur risiko," kata Hera kepada Bisnis.
Sebagai tambahan, pencadangan LAR BCA tercatat solid sebesar 76,9%, salah satu yang tertinggi di industri perbankan. Sementara itu, pencadangan non-performing loan alias NPL BCA tercatat sebesar 208,5%, berada pada level yang memadai dalam menghadapi ketidakpastian kondisi ekonomi dan bisnis debitur.
Di sisi lain, Sekretaris Perusahaan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) Okki Rushartomo mengatakan bahwa BNI lebih berhati-hati dalam pernyaluran kredit valas, di mana pemberian kredit valas ditujukan kepada debitur dengan manajemen risiko valas yang prudent dan memiliki natural hedge dalam model bisnis mereka.
Menurut Okki, BNI selalu menjaga kecukupan likuiditas diatas rasio yang ditetapkan oleh Regulator Eksternal dalam pengelolaan likuiditas valas.
"Saat ini posisi Likuiditas BNI termasuk likuiditas Valas masih cukup ample, di mana dapat terlihat pada rasio LCR dan NSFR terjaga diatas ketentuan Regulator dengan masing-masing sebesar 151,72% dan 135,13%," jelasnya kepada Bisnis.
Selain itu, BNI masih menyimpan posisi alat likuid Dolar Amerika Serikat yang cukup ample.