Bisnis.com, Jakarta — PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BRIS) bersiap memperluas sayap bisnisnya ke Arab Saudi. Langkah ini bukan sekadar ekspansi, tetapi upaya strategis untuk menyerap potensi dana milik warga negara Indonesia (WNI) yang beredar di sana, khususnya dari aktivitas haji dan umrah, dengan potensi transaksi yang diraup Rp23 triliun.
"Selama ini, dana Rp29 triliun berputar di Indonesia. Di Arab Saudi masih ada sekitar Rp23 triliun. Ini yang mulai bisa kami serap," ujar Menteri Badan Usaha Milik Negara [BUMN], Erick Thohir, dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (5/5/2025).
Erick memastikan BSI telah mengantongi izin prinsip dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Arab Saudi dan tinggal menunggu lampu hijau dari Ministry of Investment of Saudi Arabia (MISA). Bila semua berjalan sesuai rencana, BSI akan mulai beroperasi di Saudi pada 2026.
Langkah ekspansi ini dinilai sangat strategis oleh Direktur Infrastruktur Ekonomi Syariah KNEKS Sutan Emir Hidayat. Menurutnya, Arab Saudi adalah titik awal yang tepat bagi BSI untuk mewujudkan visinya sebagai bank syariah global. Dengan lebih dari 221.000 kuota jemaah haji Indonesia tahun ini dan jutaan jemaah umrah tiap tahunnya, potensi pasar sangat besar.
"Kalau BSI hadir di sana, misalnya remittance system bisa lebih efisien dan QRIS bisa digunakan, akan menguntungkan BSI," jelas Emir.
Remittance system merupakan layanan transfer dana yang memungkinkan seseorang atau perusahaan mengirim uang, umumnya dalam bentuk valuta asing, ke penerima yang berada di negara atau lokasi berbeda. Sistem ini banyak digunakan untuk transaksi lintas negara, seperti misalnya pengiriman uang dari pekerja migran kepada keluarganya di tanah air.
Baca Juga
Sebagai gambaran, ketika warga negara Indonesia di Arab Saudi, seperti jemaah haji, umrah, atau diaspora, bertransaksi menggunakan QRIS di Arab Saudi, maka proses transfer uang (remittance) dilakukan melalui bank nasional. Sehingga dana yang dikirim langsung masuk ke sistem perbankan Indonesia dan menjadi salah satu keuntungan bagi BSI sendiri.
Tak hanya melayani WNI, BSI juga berpeluang menjadi pilihan bagi masyarakat lokal. Terutama kalangan high net worth individuals yang akrab dengan transaksi syariah. "BSI bisa menjadi gerbang informasi dan transaksi pembisnis dari Saudi," kata Emir.
Persaingan dengan Tuan Rumah
Tantangan lain adalah persaingan yang ketat. Di Arab Saudi terdapat Bank Al Rajhi, salah satu bank syariah terbesar di dunia, serta bank-bank konvensional yang memiliki unit usaha syariah (Islamic Windows) dengan pangsa pasar tinggi.
"Persaingan tidak gampang. Pelayanan harus lebih unggul, khususnya bagi nasabah prioritas. BSI harus punya sistem wealth management yang kuat, dan sangat memahami budaya lokal," kata Emir.
Dia juga mengingatkan pentingnya infrastruktur digital yang andal. Hal ini dikatakan Emir seiring dengan catatan hitam BSI yang sistem teknologi informasi sempat bermasalah. Bisnis mencatat, BSI sempat mengalami gangguan atau error hampir sepekan pada 2023. Kejadian ini berdampak besar bagi nasabah, khususnya warga Aceh.
Begitu terjadi gangguan layanan, nasabah BSI di Aceh pun terdampak. Pengusaha SPBU hingga LPG di Aceh misalnya tidak bisa melakukan penebusan minyak dan gas ke Pertamina akibat layanan sistem dari BSI eror sejak Senin (8/5/2023) hingga Kamis (11/5/2023).
Sehingga hal ini, menurut Emir, harus dibenahi dan sebaiknya BSI memperkuat sistem teknologi informasinya. Emir memandang sistem teknologi perbankan salah satu hal yang sangat penting dan berkaitan dengan kepercayaan.
"Orang Arab, kalau sudah percaya, bisa sangat loyal, tetapi sekali dikecewakan, sulit percaya," tegasnya.
BSI telah mengantongi izin prinsip dan tengah menyelesaikan tahapan administrasi selanjutnya. Lokasi kantor cabang di Jeddah pun telah dipertimbangkan. Namun, tantangan berikutnya adalah kesiapan sistem, layanan, serta sumber daya manusia yang mampu memahami kultur dan kebutuhan nasabah di Arab Saudi.
Emir menyebut langkah ini sekaligus menjawab ambisi BSI untuk menembus lima besar bank syariah dunia dari sisi kapitalisasi pasar. Dia membeberkan berdasarkan data State of the Global Islamic Economy (SGIE) 2022, total aset keuangan syariah global mencapai US$3,9 triliun dan diproyeksikan tumbuh menjadi US$5,94 triliun pada 2026.
Sementara, Pelaksana Tugas Direktur Utama BSI Bob Tyasika Ananta menargetkan pasar utama di sektor haji dan umrah serta menjangkau perusahaan besar Indonesia yang sudah eksis di Arab Saudi seperti Garuda Indonesia dan Indofood.
"Indonesian bank belum ada di sana. Itu celah yang ingin kami tangkap," katanya.
Namun, jalan menuju Arab Saudi tidak mudah. Bob menyebut proses perizinan melibatkan banyak lembaga, mulai dari regulator keuangan hingga pihak kerajaan. "Kalau di Indonesia cukup lewat OJK, di sana selain OJK ada juga proses dari kerajaan dan MISA. Kami sudah menunggu hampir dua tahun," ungkapnya.
Dengan momentum ini, BSI berharap mampu mengukir jejak di pusat dunia Islam, sekaligus membawa pulang manfaat ekonomi bagi Indonesia.