Bisnis.com, DENPASAR — Data statistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat outstanding pembiayaan pinjaman online alias pinjol kepada UMKM badan usaha per Februari 2025 baru mencapai Rp3,79 triliun. Angka itu mengalami pertumbuhan 4,4% (year on year/YoY).
Angka tersebut relatif masih kecil dibanding potensi pembiayaan yang bisa dilakukan industri fintech peer-to-peer (P2P) lending.
Kajian OJK pada 2022 menunjukkan data bahwa total kebutuhan pendanaan segmen UMKM yang bisa ditutup oleh industri fintech P2P lending bisa mencapai Rp9 triliun.
CEO PT Sahabat Mikro Fintek (Samir) Yonathan Gautama mengatakan ada beberapa tantangan utama yang dihadapi industri dalam menyasar segmen UMKM, antara lain adalah keterbatasan data dan legalitas usaha, tingginya risiko kredit, serta belum adanya kerangka fleksibel yang membedakan pinjaman konsumtif berdasarkan tujuan.
"Selain itu, karakteristik kegiatan usaha dan pemberi dana untuk Pindar [pinjaman daring] yang berfokus pada konsumtif cukup berbeda dengan Pindar pada produktif," kata Yonathan kepada Bisnis, Rabu (21/5/2025).
Sebagai jawaban dari tantangan tersebut, menurutnya adaptasi untuk terus meningkatkan kemampuan mempelajari model bisnis perlu dilakukan dengan kolaborasi bersama pelaku usaha eksisting dan asosiasi.
Baca Juga
Selain itu, Samir juga menilai perlu adanya kolaborasi erat antara regulator, pelaku industri, dan mitra ekosistem untuk memperluas akses data alternatif, memperjelas klasifikasi pembiayaan produktif, serta menciptakan insentif bagi penyaluran dana ke sektor UMKM.
"Dengan dukungan regulasi yang adaptif dan teknologi yang inklusif, kontribusi Pindar terhadap pembiayaan UMKM ke depan bisa semakin signifikan," tandasnya.
Adapun dalam kajian OJK, angka Rp9 triliun tersebut merupakan angka yang sangat kecil dibanding total kebutuhan pembiayaan UMKM.
OJK mencatat, total kebutuhan pendanaan sektor UMKM yang dapat dibantu oleh industri keuangan non bank (IKNB) mencapai Rp1.519 trililun. Namun, dari kebutuhan pembiayaan tersebut hanya 15% atau Rp229 triliun kapasitas yang dapat dipenuhi oleh sektor IKNB, di mana khsusus industri P2P lending berkontribusi sebesar Rp9 triliun atau hanya 3,9% dari Rp229 triliun.
Melihat gap tersebut, Yonathan memahami bahwa industri P2P lending sebenarnya memang memiliki potensi besar untuk menjembatani kebutuhan pembiayaan UMKM yang selama ini masih underserved oleh lembaga keuangan konvensional.
"Meskipun secara regulasi banyak platform dikategorikan sebagai sektor konsumtif, tetapi di lapangan tidak sedikit dari dana yang disalurkan digunakan untuk mendukung aktivitas produktif para pelaku UMKM, terutama sektor informal dan mikro yang belum memiliki akses ke bank," ujarnya.
Semantara bagi Samir sendiri, Yonathan mengatakan perusahaan menerapkan pendekatan purpose-based financing, sehingga meskipun secara klasifikasi Samir adalah perusahaan P2P lending yang tergolong pembiayaan konsumtif, Samir tetap memfasilitasi kebutuhan produktif seperti pembelian bahan baku, pengembangan usaha kecil rumahan, hingga penguatan modal kerja harian, terutama di sektor perdagangan dan jasa.
"Selain itu, kami juga terus berinovasi dalam penilaian kredit berbasis data alternatif, memperluas jangkauan ke daerah-daerah potensial, serta menjalin kerja sama strategis dengan mitra ekosistem Pindar seperti Inovasi Teknologi Sektor Keuangan [ITSK], badan usaha milik negara dan pelaku digital economy lainnya," pungkasnya.