Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Asei Tunggu Situasi Industri Membaik Rilis Produk Asuransi Kesehatan

Rasio klaim asuransi kesehatan pada 2019 berada di level 86,12%, kemudian melesat menjadi 97,52%.
Ilustrasi asuransi kesehatan. / dok. Freepik
Ilustrasi asuransi kesehatan. / dok. Freepik

Bisnis.com, JAKARTA — PT Asuransi Asei Indonesia (Asei) sedang menyiapkan produk asuransi kesehatan. Namun demikian, untuk merilis produk baru tersebut, perusahaan sedang menunggu kondisi industri kesehatan membaik.

Direktur Utama PT Asuransi Asei Indonesia (Asuransi Asei) Dody Achmad Sudiyar mengatakan saat ini Asei memang sedang melakukan transformasi portofolio lini usaha asuransi yang menyasar pasar ritel, termasuk menyiapkan produk asuransi kesehatan.

"Sebenarnya kalau tata kelola industri kesehatan ini dilakukan dengan baik, maka 2026 kita siapkan produk asuransi kesehatan. Menyiapkan dulu [2026 bukan merilis], kami sedang mencoba diskusi dengan beberapa pihak. Kami juga menggandeng pihak ketiga, karena kan dalam tata kelola asuransi kesehatan itu juga diminta sistem informasi yang baik," ujarnya kepada Bisnis dikutip Sabtu (5/7/2025).

Adapun salah satu langkah regulator memperbaiki tata kelola asuransi kesehatan adalah dengan menerbitkan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan. Beleid ini mengatur antara lain perusahaan asuransi harus memiliki atau menunjuk Medical Advisory Board (MAB) dari pihak ketiga sebagai badan yang berwewenang memberikan rekomendasi tindakan kesehatan yang bakal di-cover asuransi kesehatan.

Selain itu, SEOJK 7/2025 juga mengatur skema co-payment atau pembagian risiko, di mana 10% klaim asuransi kesehatan akan dibebankan kepada nasabah asuransi dengan batas Rp300.000 untuk klaim rawat jalan dan Rp3 juta untuk rawat inap.

Ketentuan SEOJK tersebut mulanya akan berlaku efektif mulai 1 Januari 2026, sebelum kemudian Komisi XI DPR RI memutuskan SEOJK 7/2025 ditunda sampai OJK menerbitkan POJK baru. Penundaan tersebut diputuskan usai skema co-payment menimbulkan polemik pro dan kontra antara masyarakat dengan industri asuransi.

Merespons ketidakpastian regulasi asuransi kesehatan, Dody menegaskan hal tersebut tidak akan mengurungkan niat Asei untuk meramaikan pasar asuransi kesehatan. Rencana merilis produk asuransi kesehatan tersebut selaras dengan arah transformasi portofolio perusahaan.

"Tetap kita akan coba. Jadi begini, Asei ini memang akan main di produk ritel. Selama ini Asei dikenal main di korporasi, kita akan masuk ke ritel. Karena ritel ini ternyata punya potensi hasil underwriting yang lebih baik dibanding korporasi," katanya. 

Adapun saat ini asuransi kesehatan sedang menghadapi tantangan inflasi medis yang membuat rasio klaim kesehatan melonjak. Berdasarkan catatan OJK, inflasi medis di Indonesia pada 2024 berada di level 10,10%, jauh lebih tinggi dibanding inflasi medis global yang mencapai 6,50%. Tahun ini, inflasi medis di Indonesia diestimasi akan menyentuh angka 13,60%, lebih tinggi dari proyeksi inflasi medis global yang ada di level 7,20%.

Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono menuturkan terdapat rasio klaim asuransi kesehatan pada 2019 berada di level 86,12%, kemudian melesat menjadi 97,52%.

"Klaim hampir sama dengan premi diterima. Ini belum termasuk OPEX [biaya operasional] 10-15%. Jadi sebenarnya asuransi kesehatan itu rugi. Kalau termasuk OPEX, combined ratio-nya itu sudah di atas 100%," kata Ogi dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, Senin (30/6/2025).

Seperti yang disinggung Dody sebelumnya, kondisi industri asuransi kesehatan berkaitan erat dengan situasi di industri kesehatan secara menyeluruh.

Berdasarkan catatan OJK, saat ini 90% bahan baku obat di Indonesia masih mengandalkan impor. Dengan begitu, apabila terjadi gejolak global dan nilai tukar rupiah tergerus, harga bahan baku obat otomatis akan melonjak tajam. Saat ini, impor bahan baku obat Indonesia paling besar datang dari China, India, Amerika Serikat dan Belanja.

"Ini yang menyebabkan salah satunya naiknya inlflasi medis, 90% bahan baku obat dari impor. Ini perlu diperbaiki agar kapasitas industri farmasi Indonesia [bisa menyuplai] bahan baku obat dari Indonesia, termasuk memanfaatkan penggunaan bahan herbal dari Indonesia juga bisa jadi salah satu alternatif," tuturnya. 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper