Bisnis.com, JAKARTA – Rapat Kerja Komisi XI DPR RI bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada awal pekan ini (30/6/2025) menetapkan penundaan implementasi Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 7 Tahun 2025 yang mengatur pembagian risiko atau co-payment asuransi kesehatan.
Dalam rapat tersebut, DPR mengingatkan OJK bahwa implementasi co-payment yang mengatur nasabah asuransi wajib menanggung 10% klaim terlalu memberatkan masyarakat. Di sisi lain, banyak solusi yang bisa dilakukan industri asuransi untuk menekan beban biaya klaim kesehatan yang meningkat.
"Saya lihat co-payment kebijakan yang kontroverisal karena dinilai tidak menyelesaikan akar masalah, tapi berpotensi memberatkan konsumen. Artinya mengalihkan beban ke nasabah tanpa pembenahan internal industri," kata Thoriq Majiddanor, Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Nasdem, dikutip Sabtu (5/7/2025).
Jiddan melihat saat ini praktik bisnis asuransi kesehatan masih menyisakan tata kelola dan biaya akuisisi yang boros. Dia mencontohkan, banyak biaya premi asuransi kesehatan yang tersedot untuk keperluan biaya operasional dan biaya akuisisi, termasuk diopotong sebagai komisi agen asuransi dan biaya marketing
Dari hasil risetny kepada sejumlah perusahaan asuransi jiwa, Jiddan mencontohkan untuk produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi atau PAYDI (unit linked), agen asuransi yang menjual produk PAYDI dapat memperoleh 99% komisi yang diberikan dalam 3 tahun. Komisi tersebut dibayarkan dalam tiga tahap, tahun pertama mendapat komisi 30%, tahun kedua 30% dan tahun ketiga 39%.
"Asuransi kesehatan murni komisi agen tahun pertama bisa terima 70%. Agen-agen asuransi banyak sekali teman-teman kita secara ekonomi sudah hebat, cukup kuat, orang-orang kaya yang ikut jualan asuransi. Karena tiap tahun komisi yang diterima sangat besar," ujarnya.
Baca Juga
Sedangkan melalui skema co-payment, Jiddan menyoroti nasabah asuransi harus menanggung 10% dari beban klaim dengan batasan maksimal Rp300.000 untuk klaim rawat jalan dan Rp3 juta untuk klaim rawat inap. Dia menilai, angka tersebut dapat diperoleh perusahaan asuransi dengan memotong komisi agen tersebut.
Dia menyebut jika kebijakan tersebut dalam rangka membagi beban antara perusahaan asuransi dengan pemegang polis, Jiddan menilai beban pemegang polis tidak sebanding dengan besaran komisi agen asuransi yang didapatkan melalui premi nasabah.
"Premi asuransi kesehatan [komisi agen] 70%. Kasih saja diatur SOP, misalnya seluruh perusahaan asuransi hanya boleh memberikan komisi fee misalnya sebesar 30-40%, sisanya untuk ganti biaya yang Bapak [OJK] keluarkan lewat SE ini [10% klaim ditanggung nasabah]," tegasnya.
Adapun dalam SEOJK 7/2025 juga mengatur perusahaan asuransi wajib memiliki atau menunjuk Medical Advisory Board (MAB) sebagai mitigasi adanya overtreatment kesehatan yang membuat klaim asuransi kesehatan melonjak. Jiddan menilai tanpa komitmen kuat dari pemain dan pengawasan ketat dari regulator, SEOJK 7/2025 berpotensi dimanfaatkan perusahaan asuransi untuk menekan klaim kesehatan tanpa memperbaiki layanan.
Selain itu, Jiddan menilai skema co-payment asuransi kesehatan berpotensi memberikan beban yang tidak adil bagi kalangan rentan. Meskipun skema co-payment 10% tetap mengatur batas maksimal beban yang ditanggung nasabah, Jiddan menilai hitungan Rp3 juta dan Rp300.000 tetap akan berat bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), kelompok lansia sampai para pensiunan.
Sebagai solusi lainnya, Jiddan mencontohkan ada skema co-payment asurasi kesehatan di Filipina yang mengatur ada kriteria khusus bagi pemegang polis yang bisa dikecualikan dari skema bagi risiko.
"Di negara lain, co-payment disertai perlindungan bagi kelompok rentan. Ini jadi masukan. Contoh di Filipina, kebijakan no copay pada pasien lanjut usia, miskin dan upah minimum di rumah sakit pemerintah diberlakukan. Jadi harus ada kebijakan khusus untuk kelompok rentan," pungkasnya.