Bisnis.com, JAKARTA – Beberapa perusahaan penyelenggara P2P lending berencana melalukan merger untuk memenuhi ketentuan ekuitas minimum Rp12,5 miliar yang disyaratkan regulator. Dengan demikian, jumlah pemain P2P lending ke depan diprediksi akan menyusut dari yang saat ini berjumlah 96 perusahaan.
Direktur Utama Modal Rakyat Christian Hanggra melihat bahwa ke depan industri P2P lending akan semakin mengarah ke konsolidasi seiring dengan adanya kewajiban regulator mengatur ekuitas minimum yang dipersyaratkan.
"Artinya, jumlah pemain mungkin akan perlahan berkurang karena adanya aksi merger, akuisisi dan pengembalian perizinan. Namun, kualitas dan kapabilitas pemain yang bertahan akan meningkat. Ini hal yang wajar dalam siklus industri yang mulai memasuki tahap pematangan," kata Christian kepada Bisnis, Kamis (10/7/2025).
Di Indonesia, lahirnya industri fintech P2P lending ditandai dengan terbitnya Peraturan OJK (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Sejak saat itu, perusahaan-perusahaan P2P lending mulai menjamur.
Berdasarkan data paling lama yang dirilis OJK, jumlah penyelenggara fintech P2P lending per Juni 2019 mencapai 113 perusahaan, yang kemudian jumlahnya per 28 Desember 2020 melesat menjadi 149 perusahaan. Berdasarkan data terbaru, sampai dengan Mei 2025 jumlah pemain P2P lending hanya tersisa 96.
Merosotnya jumlah pemain P2P lending ini dilihat Christian seperti halnya yang terjadi pada perkembangan industri perbankan.
Baca Juga
"Bisa dilihat juga pada jumlah perbankan, lembaga pembiayaan dan LJK lainnya merosot dan diminta peningkatan permodalan oleh regulator. Dengan semakin ketatnya regulasi dan standar operasional, hanya pemain dengan struktur keuangan kuat, proses bisnis yang prudent dan inovasi produk yang relevan yang akan mampu tumbuh secara sehat," tegasnya.
Selain industri P2P lending yang akan menyisakan pemain-pemain dengan keuangan yang lebih kuat, Christian menilai berkurangnya jumlah perusahaan P2P lending ke depan juga membuat ekosistem persaingan yang lebih rasional, alias tidak lagi berlomba pada volume semata.
"Kompetisinya lebih berlomba pada profitability, value creation, efisiensi, kemampuan mitigasi risiko dan kemampuan menjawab kebutuhan lender dan borrower secara lebih holistik," pungkasnya.
Sebagai perusahaan P2P lending yang telah memiliki ekutias lebih dari Rp12,5 miliar, Modal Rakyat memandang bahwa kewajiban penguatan modal merupakan langkah penting untuk memperkuat fundamental industri P2P lending secara keseluruhan terutama di sisi penyelenggara
Dengan struktur permodalan yang sehat, Christian mengatakan perusahaan P2P lending dapat menopang risiko usaha secara lebih baik dan memiliki proyeksi keuangan yang stabil. Selain itu, perusahaan juga dapat berinvestasi dalam teknologi dan proses mitigasi risiko yang lebih matang.
Perusahaan juga dapat menjaga keberlangsungan operasional di tengah tantangan pasar dan situasi tantangan makro ekonomi global yang tidak stabil, serta meningkatkan kepercayaan dari lender, borrower maupun calon mitra strategis.
"Modal yang kuat bukan hanya soal kepatuhan terhadap regulasi, tapi juga menjadi fondasi untuk membangun bisnis yang berkelanjutan dan profesional dalam jangka panjang," pungkasnya.
Setali tiga uang, Direktur Eksekutif Intitute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti Soeryaningrum Agustin juga melihat industri P2P lending saat ini sedang mengalami seleksi alam. Dia menyamakan fase ini dengan proses yang sudah dialami pada industri perbankan.
"Seperti bank kan seperti itu. Jumlah bank pada 2000-an itu kan jumlahnya sektiar 242 bank, kemudian sekarang paling tinggal 100-an. Dari bank yang jumlahnya ratusan mungkin ada 4 bank saja yang menguasai pangsa pasar, asetnya itu 60-70%. Yang kecil-kecil cuma kuasai 40%," ujar Esther.