Hingga September 2015, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat tingkat penetrasi asuransi konvensional baru mencapai 2,51% dengan densitas Rp1,1 juta. Lebih parah lagi, tingkat penetrasi asuransi syariah baru mencapai 0,08% dengan densitas Rp40.000.
Melihat hal tersebut, pemerintah berupaya melebarkan akses keuangan di segmen mikro guna meningkatkan penetrasi asuransi dalam negeri. Hal tersebut sejalan dengan program inklusi keuangan yang bertujuan menghilangkan segala bentuk hambatan dalam bentuk harga maupun nonharga demi memudahkan akses masyarakat dalam memanfaatkan layanan jasa keuangan.
Segmen mikro diklasifikasikan sebagai masyarakat berpenghasilan rendah atau berpen dapatan di bawah Rp2,5 juta per bulan. Mayoritas orang di golongan ini dinilai belum memanfaatkan jasa keuangan yang tersedia.
Dua tahun sejak produk mikro digagas, OJK menganggap pencapaian perusahaan asuransi umum, jiwa, dan syariah belum sesuai harapan untuk meningkatkan inklusi keuangan sekaligus meningkatkan tingkat penetrasi dari kalangan segmen mikro.
Firdaus Djaelani, Kepala Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK, menyatakan otoritas berencana mewajibkan perusahaan asuransi menjual produk mikro sebesar 5% dari total premi yang didapatkan perusahaan pada tahun depan.
‘Pemaksaan’ tersebut dilaku kan mengingat realisasi industri dalam menjual produk ter sebut masih sangat rendah. Melalui kewajiban itu, Firdaus berharap penetrasi produk dapat meningkat.
“Awalnya memang tidak meng untungkan, tapi sesuai perkiraan banyak ekonom, kelas menengah akan terus tumbuh. Akan terjadi migrasi [dari ekonomi lemah menjadi menengah]. Ketika itu kita [perusahaan asuransi memperoleh pendapatan yang besar].”
Menurutnya, kewajiban menjual produk mikro ini sejatinya juga telah dilakukan oleh perbankan. Bahkan, pada bank pro duk yang ditawarkan lebih besar hingga mencapai 20%.