Bagaimana respons industri? Setelah asosiasi asuransi diwajibkan menjual produk asuransi mikro, kini perusahaan asuransi harus menunggu aturan baru yang akan mewajibkan besaran jumlah produk mikro tersebut.
Hendrisman Rahim, Ketua Umum Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia mengharapkan otoritas tidak mematok besaran kewajiban menjual produk itu karena dapat memberatkan industri.
Pasalnya, penjualan produk mikro membutuhkan waktu yang lama dari tahap sosialisasi, edukasi hingga membentuk perspektif masyarakat mikro terhadap pentingnya berasuransi. Hasilnya, penjualan premi di segmen itu tidak bisa instan.
Dia mencontohkan upaya perbankan yang masuk ke segmen itu sejak sejak 12-15 tahun lalu. Perlu biaya yang sangat besar dan sosialisasi yang maksimal sampai kalangan tersebut menjadi kalangan bankable dalam waktu yang tidak sebentar.
Apalagi, dia mengatakan nominal yang harus dikumpulkan perusahaan asuransi jiwa apabila aturan tersebut ditetapkan cukup berat. Dengan perkiraan total premi industri mencapai Rp150 triliun tahun ini, maka 5% yang harus dialokasikan untuk segmen mikro mencapai Rp7,5 triliun.
“Misalnya dari jumlah penduduk 250 juta hanya 20% yang insurable. Dengan premi Rp50.000 hasilnya baru sekitar Rp2,5 triliun. Sulit,” ujarnya.
Dengan kondisi begitu, Hendrisman, yang juga Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya (Persero) berujar akan lebih efektif bila polis mikro berjangka waktu 1-3 tahun diberikan gratis pada tahap awal saat sosialisasi sembari menunggu respons kesadaran dari masyarakat mikro tersebut.
“Masih banyak yang bisa kami garap dari segmen menengah. Segmen itu bisa dibagi lagi jadi beberapa tingkatan untuk bisa dikembangkan lagi, tidak hanya harus fokus di mikro,” ujarnya.
Togar Pasaribu, Pjs Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menilai mematok besaran penjualan asuransi mikro tidak efektif dilakukan karena minat dan pemahaman masyarakat yang masih rendah.
Seharusnya, dia mengatakan dalam beberapa tahun mendatang perusahaan asuransi diminta untuk gencar melakukan sosialisasi terlebih dahulu terhadap pentingnya berasuransi sehingga penjualan produk tidak hanya berlangsung saat itu, namun berkelanjutan.
Salah satu caranya, dia mengatakan bisa saja alokasi dana pendidikan yang bersifat CSR dari setiap perusahaan dikumpulkan dalam persentase tertentu, yang kemudian dilakukan promosi besar-besaran ke berbagai desa sehingga tujuan akhir penetrasi dapat tercapai.
“Saat ini sosialisasi terus dilakukan, namun bila ditambah dukungannya, misalnya 1-2% saja dari total alokasi dana perusahaan, bisa jadi salah satu cara. Namun, harus sosialisasi dan edukasi terlebih dahulu, langsung menjual tidak akan efektif,” ujarnya.
Menilik kondisi tersebut, agaknya otoritas masih perlu duduk bersama lagi dengan pelaku industri agar tujuan utama memacu inklusi keuangan tak tersendat