Bisnis.com, MALANG - Presiden bisa menetapkan untuk melakukan bail out atau penyelenggaraan atau pengakhiran program restrukturisasi perbankan apabila terjadi permasalahan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional mengacu Undang Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK).
Anggota Komisi XI DPR RI Andreas Eddy Susetyo mengatakan keputusan tersebut mengacu pada rekomendasi dari Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
“Presiden memegang kendali penuh dalam penanganan krisis sistem keuangan,” ujarnya di sela-sela Sosialisasi UU PPKSK di Malang, Senin (21/3/2016).
Dalam UU tersebut, berdasarkan rekomendasi dari KSSK Presiden bertindak selaku penentu akhir untuk memutusakan kondisi stabilitas sistem keuangan, apakah dalam kondisi normal atau kondisi krisis sitem keuangan.
Dengan terbitnya UU tersebut, maka diharapkan dapat mendorong upaya pencegahan krisis melakui penguatan fungsi perbankan, khususnya bank yang ditetapkan sebagai sistemik.
Penetapan daftar bank sistem harus dilakukan pada saat stabilitas sistem keuangan alam kondisi normal, dan harus dilakukan pemutakhiran daftar bank sistemik setiap enam bulan sekali.
Untuk pertama kalinya, penetapan daftar bank sistemik dilakukan paling lambat tiga bulan sejak diundangkannya PPKSK.
“Karena itulah nanti OJK akan membuat peraturan tentang rasio kecukupan modal, rasio kecukupan likuiditas, dan penetapan bank sistemik,” ujarnya.
Dengan terbitnya UU tersebut, maka penanganan permasalahan bank dengan mengedepankan bail in, yaitu penanganan permasalahan likuiditas dan solvabilitas bank menggunakan sumber daya bank itu sendiri yang berasal dari pemegang saham dan kreditur bank, hasil pengelolaan aset dan kewajiban bank, serta kontribusi industri perbankan (premi).
Pendekatan tersebut sejalan dengan rekomendasi Financial Stability Board dan menjadi praktik yang lazim ditetapkan di negara-negara G-20 di mana Indonesia menjadi salah satu anggotanya.
Melalui pendekatan bail in diharapkan penanganan permasalahn bank tidak membebani keuangan negara.
Untuk itu, menurut dia, penanganan permasalahn likuiditas dan solvabilitas bank diatur secara lengkap dan komprehensif.
Penanganan pemasalahan bank dilakukan lebih dini, a.l melakui penerapan aksi penyehatan bank (recovery plan) yang telah disusun bank.
Dalam hal terjadi permasalahan likuidtas, maka UU tersebut mengatur mekanisme pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuidtas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah.
Selanjutnya, apabila bank mengalami solvabilitas, UU PPKSK mempekenalkan dua metode baru untuk penanganan yang lebih efektif, yaitu pengalihan sebagian atau seluruh aset dan atau kewajiban bank kepada bank lain sebagai bank penerima, atau pengalihan kepada bank baru yang didirikan sebagai bank perantara.
DPR melalui rapat paripurna pada Kamis, 17 Maret 2016 mengesahkan RUU PPSKS sah menjadi undang-undang.